ARTICLE AD BOX
GEMPA bumi berkekuatan sekitar 9,3 pada skala Richter (SR) di Samudera Hindia nan disusul gelombang tsunami luar biasa telah 20 tahun berlalu.
Fenomena alam pada 26 Desember 2004, nan berujung musibah besar itu telah meluluhlantakkan permukiman penduduk pesisir Samudera Hindia dan Selat Malaka di Provinsi Aceh hingga enam negara tetangga lainnya.
Tingginya korban jiwa hingga mencapai sekitar 250.000 kala itu penyebabnya ditenggarai lantaran kurangnya memahami mitigasi dan minim akomodasi tempat berlindung. Sayangnya pengalaman sejarah ini rasanya mudah sekali terlupakan. Itu terlihat dari banyaknya akomodasi nan dibangun pascatsunami melalui peran BRR Aceh-Nias terbengkalai tidak terurus.
Padahal sesuai perencanaan blue print adalah untuk mencegah alias mengurangi korban jiwa alias guna berkawan dengan alam jika sewaktu-waktu kejadian itu terulang.
Pengamatan Media Indonesia, senin (23/12), gedung pemindahan tsunami (escape building) di Desa Sukon, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, dibiarkan terbengkalai tidak terurus.
Kondisi gedung berlantai tiga itu sangat memprihatinkan, misalnya lantai keramik banyak terkelupas, kusen pintu rusak dan hilang. Lalu tembok penuh coretan, dipenuhi sampah jejak makanan dan botol minuman plastik sekali pakai. Belum lagi berceceran kotoran hewan sehingga tampak kotor.
Sayangnya gedung nan dibangun menghabiskan biaya puluhan miliar rupiah itu tidak ada penjaga sehingga seperti tanpa penanggung jawab. Seharusnya gedung kokoh dipesisir pantai Selatan Malaka dan persis di pinggiran jalur Simpang Tiga-Kota Sigli itu perlu disematkan.
"Kalau sewaktu waktu diperlukan untuk pemindahan penduduk sekitar cukup berfaedah sebagai tempat menyelamatkan diri," tutur Muksalmina, penduduk Kecamatan Simpang Tiga. (MR/J-3)