ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Delapan pengadil konstitusi diadukan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Aduan itu mengenai putusan MK pada Agustus 2024 nan menyatakan partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu bisa mengusulkan calon kepala wilayah meski tidak mempunyai bangku di DPRD.
"Melaporkan 8 dari 9 pengadil MK nan memutus perkara a quo," ujar Adi Gunawan dari LQ Indonesia Law Firm dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).
Perkara a quo nan dimaksud ialah Putusan atas perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 nan diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Dalam putusan itu, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adi berdasar para pengadil konstitusi menjatuhkan putusan melampaui dari nan diminta para pemohon. Untuk itu dia mengadukan para pengadil itu ke MKMK atas dugaan pelanggaran terhadap Pasal 10 huruf g poin ke 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
"MK memutus perkara dengan melampaui objek permohonan pemohon ialah dengan menyatakan bahwa selain Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (1) juga bertentangan dengan UU sehingga Pasal 40 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional bersyarat," kata Adi.
"Melalui Putusan 60/PUU-XII/2024, MK memutus Pasal 40 ayat (3) dengan membikin norma baru. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara norma (rechtsstaat) nan mana Hakim MK kudu tunduk pada konsep Judicial Restraint dengan membatasi dirinya agar tetap dalam koridor prinsip pemisahan kekuasaan. MK juga telah bertindak sebagai Positif Legislator nan mana kewenangan tersebut hanya diberikan kepada lembaga legislatif (DPR) dan Presiden sebagaimana nan diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945," imbuh Adi.
Putusan dan Pertimbangan MK
Putusan nan dipermasalahkan itu diketok MK pada 20 Agustus 2024. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
MK mengatakan prinsip pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 nan telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma nan telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.
MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berakibat pada pasal lain, ialah Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sebelum diubah ialah:
Partai Politik alias campuran Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah bangku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah alias 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan bunyi sah dalam pemilihan umum personil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di wilayah nan bersangkutan.
MK pun mengabulkan sebagian gugatan. Berikut ini amar putusan MK nan mengubah isi Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada:
Partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut
b. Kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut
c. Kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut
d. Kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat nan termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu kudu memeroleh bunyi sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.
(fas/dhn)