ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai Gubernur Bali, Wayan Koster, berpotensi melanggar hak-hak konsumen melalui Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih. Diketahui, SE tersebut melarang produksi dan pengedaran air minum dalam bungkusan (AMDK) berukuran di bawah 1 liter.
Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Fitrah Bukhari menjelaskan pelarangan tersebut bakal mengurangi ragam produk nan tersedia di pasar.
"Dengan adanya pelarangan produksi dan pengedaran tersebut, bakal berakibat pada hilangnya kewenangan konsumen untuk memilih produk nan bakal dikonsumsinya. Padahal, dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu kewenangan Konsumen adalah kewenangan untuk memilih barang," ungkap Fitrah Bukhari dalam keterangan tertulis, Selasa (15/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan pelarangan itu bakal berujung pada kehilangan preferensi alias kewenangan pilih konsumen terhadap suatu produk sehingga berakibat pada psikologis apalagi ekonomi.
BPKN merupakan lembaga perlindungan konsumen nan berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), nan menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi merugikan suasana upaya lantaran dapat berakibat negatif terhadap pertumbuhan industri di wilayah terkait.
Fitrah mengatakan pelarangan produksi dan peredaran tentu membebani konsumen dari sisi ekonomi lantaran kudu bayar lebih mahal dan berat dari sisi berat produk. Dia melanjutkan, SE tersebut juga bakal berakibat ke sektor pariwisata Bali lantaran para visitor bakal kesulitan mencari AMDK nan memudahkan mereka.
Fitrah menilai bahwa kondisi ini tentu bakal mengganggu kenyamanan para visitor saat berekreasi dan menikmati waktu di Bali. Apalagi, sambung dia, penyebaran produk pengganti nan belum merata keberadaannya di wilayah tersebut.
"Yang perlu dipastikan selanjutnya dalam penerapan SE ini adalah apakah produk pengganti telah merata, dan dapat memenuhi kebutuhan dan angan konsumen?," ujarnya.
Ia juga memahami inisiatif Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam upaya membersihkan wilayah dari tumpukan sampah. Namun, dia menekankan bahwa langkah tersebut kudu dilakukan secara tepat agar tidak memberatkan salah satu pihak.
"Kami mendorong pemerintah untuk mendengarkan seluruh pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, perihal ini agar kebijakan nan dihasilkan dapat seimbang, berkepanjangan dan tentunya dapat melindungi konsumen," katanya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, Gede Harja Astawa menilai bahwa pelarangan produksi dan pengedaran AMDK di bawah 1 liter tidak realistis. Menurutnya, kebijakan itu semakin menambah beban serta menyulitkan publik, terutama masyarakat budaya apalagi saat mengadakan aktivitas adat.
"Dalam upacara budaya seperti di pura, pitra yadnya, alias manusa yadnya, biasanya air minum bungkusan jadi solusi praktis untuk suguhan. Kalau itu dilarang, siapa nan bakal siapkan gelas? Biaya bertambah, dan jelas tidak efisien," ungkap Harja.
Harja meminta agar larangan produksi dan pengedaran AMDK di bawah 1 liter ini ditinjau ulang. Ketua DPC Gerindra Buleleng ini menilai bahwa pelarangan pengedaran AMDK botol mini itu justru malah bakal menimbulkan masalah baru.
Dia juga mengkritik pandangan nan seolah mau kembali ke masa lampau dengan melarang penggunaan plastik secara ekstrem. Dia mengingatkan, meski dulu masyarakat hidup tanpa plastik, bukan berfaedah kita kudu menolak kemajuan teknologi.
"Apakah kita mau kembali ke era primitif hanya lantaran plastik dilarang? Saya kira bukan soal anti plastik, tapi gimana semua pihak bertanggung jawab atas limbah nan dihasilkan," katanya.
Meskipun dia mengapresiasi semangat Gubernur Wayan Koster untuk mengurangi sampah plastik. Namun, penanganan sampah plastik kudu melibatkan semua pihak dan bukan hanya diselesaikan dari sisi konsumsi air bungkusan semata.
"Permasalahan sampah plastik jauh lebih luas dari sekadar air botol kecil. Jangan sampai kebijakan nan tujuannya baik malah menimbulkan polemik di tengah masyarakat," paparnya.
Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian berencana memanggil Gubernur Wayan Koster mengenai kebijakan tersebut. Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Rizal, menyatakan bahwa Gubernur Koster semestinya terlebih dulu berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebelum menerbitkan dan memberlakukan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025.
"Sebaiknya berkoordinasi dulu dengan pemerintah pusat sebelum menjadi keputusan," pungkas Faisol.
(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini