ARTICLE AD BOX
PEMERINTAH perlu mengkaji tindakan nan tepat bagi family agar jera bermain judi online (judol). Hal ini menyusul maraknya praktik judol di masyarakat, nan berakibat besar kepada keluarga.
"Ya jika saya ditanya begitu ya, soal apa namanya tindakan nan membikin mereka jera saya pengennya mereka di penjara misalnya, tapi kan nggak mungkin penjara penuh katanya saya baca buletin gitu," kata Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Iskandar Zulkarnain dalam program Crosscheck Medcom.id, Minggu (22/12).
Zulkarnain melanjutkan berasas catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pemain gambling online itu nan ada transaksinya sebanyak 8,8 juta orang, dan 100-200 ribu anak-anak. Bila semua dihukum penjara bakal penuh. "Jadi, ya memang perlu kita rembukan bersama, perlu kita diskusikan berbareng kira-kira tindakan apa nan bisa membikin mereka jera, tidak bisa kita ambil tindakan-tindakan nan sekilas masukin penjara gitu alias tutup akses internetnya," ungkap Zul.
Zul menyebut menutup akses internet untuk menumpas kejahatan judol mengundang banyak kontroversi di masyarakat. Seperti melanggar kewenangan asasi manusia (HAM). Maka itu, kata dia, perlu ada tindakan-tindakan nan lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
"Saya kira itu juga lagi digodok mungkin sama pemerintah, berbareng DPR mungkin saya harapannya begitu ya, harapannya mereka betul-betul menggodok ini lantaran jika dilihat 2 bulan pertama ini, mungkin kementerian nan paling aktif ini Komdigi, berbareng PPATK," ungkapnya.
Zulkarnain mengaku geram dengan maraknya kasus judol di Tanah Air. Ia mau semua pihak betul-betul menjalankan tugas sesuai bagian dalam pemberantasan judol. Sesuai pernyataan Presiden Prabowo Subianto, judol kudu diperangi bersama. "Mungkin Pak Prabowo juga memandang bahwa ini betul-betul meresahkan, selain berakibat kepada sosial, berakibat juga ke ekonomi ini," ucapnya.
Oleh karena itu, Zul menyebut perlu mengkaji kebijakan nan pas untuk mencegah masyarakat terlihat judol daripada penghukuman. Sebab, kata dia, mencegah lebih baik daripada menghukum. "Kita harapannya lebih ke pencegahan sebenarnya, agak sangat susah ketika mereka sudah terjerumus dibandingkan misalnya mereka baru ter-trigger misalnya mereka baru kepengen nih, nah ini kita cegah dari situnya," ujar Zulkarnain.
Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim menambahkan pelaku judol itu susah dilakukan penindakan. Sebab, mereka sebetulnya korban. Menurutnya, nan perlu dilakukan adalah penguatan pada pencegahan di tiga lembaga nan mempunyai kewenangan. Seperti Polri, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Buat Polri tentu kita sorong terus secara ahli sungguh-sungguh melakukan patroli siber terhadap situs-situs nan itu terendus sebagai situs gambling online hasil patroli kan langsung didatakan," katanya.
Sementara itu, Komdigi bisa langsung memblokir situs dari info nan diterima dari Polri. Komdigi diminta tidak membiarkan situs itu bergerilya, lantaran masyarakat pasti bakal mencoba-coba untuk mengakses kembali. "Seiring dengan itu barulah edukasi dari elemen-elemen masyarakat, Polri juga melakukan edukasi mengenai dengan bentuk-bentuk modus-modus operandi gambling online itu seperti apa," ungkapnya.
Sedangkan, PPATK melakukan pemblokiran rekening alias transaksi keuangan. Langkah ini dianggap bagian dari pemberantasan nan efektif. "Memang menutup akses mudah, tapi menutup akun-akun nan terendus oleh praktik gambling online itu tidak mudah, itu tantangannya sementara ini," pungkas Yusuf. (Yon/I-2)