Desember, Hujan, Dan Ppn

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Desember dan bulan-bulan setelahnya identik dengan hujan. Hujan dapat dilihat dari dua perspektif nan berbeda. Hujan dapat dilihat sebagai berkah, bisa juga dilihat sebagai musibah. Curah hujan nan terukur tentunya bakal memberikan keseimbangan antara alam dan manusia. Demikian halnya dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) nan terukur bakal menciptakan keseimbangan antara penerimaan negara dan daya beli masyarakat.

Curah hujan nan tinggi membawa akibat nan buruk. Banjir, kerusakan infrastruktur, hingga musibah alam adalah akibat negatif dari hujan nan terus menerus. Demikian halnya dengan PPN, jika tarif PPN terlalu tinggi dikhawatirkan bakal semakin mengurangi daya beli masyarakat nan memang sudah melemah akibat beban-beban ekonomi nan dirasakan khususnya oleh kelas menengah.

Namun, curah hujan nan terlalu rendah mengakibatkan kekurangan pasokan air. Air hujan berfaedah untuk mengairi sawah dan kebun nan membantu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi pangan. Begitu juga dengan PPN sebagai salah satu komponen penerimaan negara. Jika penerimaan negara tidak mencapai sasaran maka pemerintah bakal kesulitan dalam membiayai program-program pemerintah dan shopping perpajakan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

PPN adalah pajak atas aktivitas konsumsi dalam Daerah Pabean. PPN sudah sewajarnya bersenggolan dengan daya beli masyarakat. Karakteristik lain adalah PPN dikenakan pada multi stage dengan metode indirect subtraction method mulai dari mata rantai produsen hingga ke konsumen akhir. PPN juga adalah pajak atas nilai tambah. Nilai tambah di sini dapat berupa margin untung nan ditambahkan oleh pengusaha. Dengan demikian kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 12% memang kudu dilihat secara zoom out.

Pemerintah sudah berupaya meramu tarif PPN nan terukur agar inflasi tetap rendah dan daya beli tetap terjaga. Menurut hitung-hitungan Direktorat Jenderal Pajak berasas Keterangan Tertulis nomor KT-04/2024 nan dirilis pada 21 Desember 2024, akibat kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi bakal tetap dijaga rendah sesuai sasaran APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak bakal menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.

Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan nilai peralatan alias jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat. Ternyata akibat kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. Pada 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun perihal tersebut disebabkan oleh tekanan nilai global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian nilai BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19 sedangkan pada rentang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

Di media sosial, netizen beramai-ramai menghitung akibat kenaikan PPN. Ada nan menghitung persentase kenaikan total nilai nan kudu nan dibayar, ada nan menghitung dari persentase kenaikan pajaknya saja dan ada juga nan menyarankan menghitung dengan mengedepankan aspek supply chain-nya. Aspirasi nan diberikan menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tentunya tidak berakhir sampai di situ, masyarakat juga diharapkan dapat memahami besarnya peranan PPN. Pada komposisi penerimaan pajak 2023, PPN dan PPnBM adalah pajak dengan kontribusi tertinggi urutan kedua sebesar Rp 764,3 triliun setelah Pajak Penghasilan Non Migas sebesar Rp 993 triliun.

Kebutuhan pokok

Kebijakan pemerintah sudah sedapat mungkin memberikan akomodasi pembebasan pajak atas kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok terdiri dari pangan, sandang, papan. Untuk pangan, pembebasan PPN diberikan kepada beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk papan, pembebasan PPN diberikan kepada rumah sederhana dan rusunami. Jika masyarakat sanggup bayar lebih untuk kebutuhan sekunder dan tersier, tentunya mereka mempunyai keahlian finansial nan lebih untuk bayar pajak dan kegunaan pajak untuk redistribusi pendapatan juga bakal tercapai.

PPN adalah hasil perkalian antara tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya. Dengan demikian PPN bakal berbanding lurus dengan DPP. Semakin tinggi DPP maka semakin tinggi PPN-nya. Contohnya, masyarakat nan mempunyai keahlian finansial untuk menggunakan jasa Youtube Premium tentunya bakal bayar PPN nan lebih besar dikarenakan nilai jual alias nilai penggantiannya nan juga besar.

Curah hujan nan terukur tentunya mendukung simbiosis mutualisme antara alam dan manusia lantaran kedua pihak sama-sama diuntungkan. Demikian halnya tarif PPN nan terukur bakal mendukung gotong royong antara pemerintah dan Wajib Pajak. Di satu sisi pemerintah dapat mencapai sasaran penerimaan pajak. Di sisi lain Wajib Pajak juga mendapat imbas positif dari penerimaan pajak ialah berjalannya paket insentif ekonomi.

Paket insentif ekonomi 2025 meliputi support untuk rumah tangga dan individu, support untuk pekerja, stimulus untuk UMKM, support untuk sektor industri dan padat karya, stimulus untuk sektor perumahan dan sektor otomotif dengan proyeksi insentif PPN sebesar Rp 265,6 triliun nan pada akhirnya bakal berkontribusi pada peningkatan daya beli masyarakat.

Octavianus Somalinggi penyuluh pajak KPP Pratama Jakarta Cengkareng

(mmu/mmu)