ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kejutan di awal tahun 2025 saat Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan dengan menghapus syarat periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold 20%. Padahal patokan itu berulang kali digugat tetapi selalu kandas di tangan para pengadil konstitusi.
Memangnya apa nan dimaksud dengan presidential threshold 20% itu?
Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) disebutkan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik alias Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu nan memenuhi persyaratan perolehan bangku paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah bangku DPR alias memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari bunyi sah secara nasional pada Pemilu personil DPR sebelumnya.
Lantas, sejak kapan gugatan terhadap periode pemisah presiden ini dilakukan?
Tercatat, gugatan terhadap Pasal 222 ini sudah dilakukan sejak tahun 2017. Misalnya, lewat perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan ialah Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik. Selain itu, baik syarat capres/cawapres dan tata langkah pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Selanjutnya, gugatan dilakukan lagi lewat perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasan pemohon hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan bunyi pemilih. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Masih di tahun 2017, ada empat gugatan lagi nan mau menghapus periode pemisah presiden ini. Namun semuanya ditolak.
Gugatan terhadap periode pemisah presiden ini terus bersambung pada tahun 2018. Setidaknya ada enam gugatan nan dilayangkan dengan beragam argumen pemohon. Semua gugatan lagi-lagi ditolak.
Upaya untuk menghapus periode pemisah ini diteruskan pada tahun 2020. Salah satu pengugatnya ialah Rizal Ramli. Dia mengugat lewat perkara Nomor 74/PUUXVIII/2020, argumen judicial review secara post factum (inconcreto) Pemilihan Presiden 2019 telah menyebabkan hilangnya kewenangan konstitusional (constitutional rights) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dalam mengusulkan pasangan calon presiden. Hasilnya MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.
Tak berakhir di situ. Gugatan juga pernah dilakukan pada tahun 2022 lewat perkara Nomor 73/PUUXX/2022. Namun, MK menolak. MK bahwa menegaskan bahwa periode pemisah presiden adalah open legal policy ialah kewenangan pembentuk UU. Kemudian, pada tahun 2023, upaya untuk menghapus periode pemisah presiden tetap dilakukan. Ada dua gugatan nan dilayangkan ke MK pada tahun 2023. Namun, MK kembali menolak gugatan tersebut.
MK Hapus Ambang Presiden
Setelah acapkali menolak gugatan mengenai penghapusan periode pemisah presiden, sekarang baru MK menerimanya. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu mempunyai kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo mengenai perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berasas periode pemisah terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran periode pemisah lebih menguntungkan partai politik nan mempunyai bangku di DPR.
"Dalam konteks itu, susah bagi partai politik nan merumuskan besaran alias persentase periode pemisah untuk dinilai tidak mempunyai tumbukan kepentingan (conflict of interest)," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi mengatakan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua pasangan calon, jika terus mempertahankan ketentuan periode pemisah dalam pengusulan pasangan calon. Padahal, kata dia, pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membikin masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden bakal terjebak dengan calon tunggal," ujar dia.
"Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam kejadian pemilihan kepala wilayah nan dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal alias pemilihan dengan kotak kosong," sambungnya.
Saldi menyampaikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu. Saldi pun menyampaikan usai lima kali Pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan periode pemisah sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.
"Terlebih terdapat pula kebenaran lain nan tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat kekuasaan partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden nan berakibat pada terbatasnya kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti nan memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden," paparnya.
MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh periode batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu nan tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan hukuman larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
"Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, campuran partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah bangku di DPR alias perolehan bunyi sah secara nasional," tuturnya.
"Dalam perihal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden nan diusulkan partai politik peserta pemilu," imbuh Saldi.
Putusan ini juga diwarnai dengan dissenting opinion alias pendapat berbeda dari dua hakim. Dua pengadil nan berbeda pendapat itu adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Anwar Usman dan Daniel menilai pengetesan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah dimohonkan sebanyak 33 kali. Menurutnya, MK telah menegaskan pihak nan mempunyai kedudukan norma untuk mengusulkan pengetesan adalah partai politik peserta pemilu, dan penduduk negara nan mempunyai kewenangan untuk dipilih dan didukung oleh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.
(rdp/dhn)