Kenaikan Royalti Jadi Kontraproduktif Bagi Industri Tambang, Kenapa?

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, librosfullgratis.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Peraturan Pemerintah nan mengatur kenaikan tarif royalti di sektor mineral dan batu bara. Hal ini bermaksud untuk meningkatkan kontribusi penerimaan negara dari sumber daya alam.

Meski demikian, Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai kebijakan ini dapat menjadi kontraproduktif bagi pelaku upaya pertambangan. Sekalipun, dampaknya tidak bakal dirasakan secara merata oleh seluruh komoditas pertambangan.

"Saya memandang rencana revisi PP26/2022, nan bakal diberlakukan oleh Pemerintah bisa jadi menjadi kontraproduktif bagi pelaku upaya pertambangan, namun bukan seluruh jenis komoditas pertambangan," kata dia kepada librosfullgratis.com, dikutip Selasa (25/3/2025).

Menurut Singgih, sektor nikel bakal menjadi salah satu industri nan teriak alias keberatan atas usulan revisi ini. Namun, perihal ini bisa jadi tidak bertindak bagi industri timah maupun batu bara, khususnya bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Namun bisa tidak terjadi di timah maupun batu bara, khususnya IUPK perpanjangan dari PKP2B nan justru bagus dengan usulan revisi ini. Jauh lebih logis bagi IUPK perpanjangan PKP2B," kata dia.

Singgih menilai bahwa pemerintah dalam usulan revisi ini lebih berfokus pada nilai komoditas. Pemerintah hanya memandang tingginya nilai komoditas tambang sebagai momentum nan wajar untuk meningkatkan royalti.

Apalagi, pendapatan dari industri pertambangan tetap dianggap bisa membantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nan saat ini mengalami defisit, sementara penerimaan pajak tetap di bawah target.

Singgih lantas menilai bahwa revisi ini kurang tepat lantaran tidak semua nilai komoditas tambang saat berada pada level tinggi. Bahkan, nilai batu bara internasional diproyeksikan tidak bakal mengalami kenaikan tajam.

"Bahkan melemah berbarengan dengan beragam negara importir tetap konsisten mengimplementasi kebijakan transisi energi," kata dia.

Singgih menyebut belum ada argumen esensial nan dapat mendorong kenaikan nilai batu bara di pasar dunia dalam waktu dekat. Sehingga sangat jelas, revisi nan diberlakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan pada nilai saja, padahal tidak semua komoditas berada di level tinggi.

"Tidak memahami kondisi industri tambang secara perincian atas kondisi biaya penambangan, pasar jangka panjang, adalah perihal nan mestinya dikoreksi," katanya.

Ia menambahkan bahwa revisi tarif royalti ini dilakukan di tengah tantangan lain nan dihadapi industri tambang, seperti penerapan kebijakan biodiesel B40 dan Dana Hasil Ekspor (DHE), nan dinilai sudah cukup memberatkan industri.

"Jadi kembali lagi jika Pemerintah bakal melakukan revisi maka kudu ada penilaian dan pembahasan dengan pelaku industri pertambangan mengenai kondisi lapangan tambang dari sisi produksi, biaya produksi, pasar nan terbangun dan eksplorasi," kata dia.

Selain itu, besarnya royalti kudu memasukkan risk-sharing antara penanammodal tambang dan Negara. Sehingga nilai royalti diiriskan dengan membangun sustainable economy, nan semestinya kudu diletakkan gimana investasi tambang diperlukan modal nan cukup besar (padat modal), high risk dan bukan quick yield.

"Dengan argumen ini, pemerintah kudu lebih memetakan perincian akibat royalti dengan menggunakan sisi ukuran di penanammodal pertambangan sendiri (Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV), Effective TAx Rate (ETR) dan cumulative royalty," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah merevisi patokan mengenai royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara (minerba). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan untuk penerimaan negara.

Dua patokan nan tengah direvisi antara lain Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) nan Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PP No.15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan alias Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.

Di komoditas mineral, beberapa komoditas nan bakal mengalami kenaikan royalti antara lain nikel, baik bijih dan produk pengolahan, emas, timah, perak, tembaga, hingga platina.


(wia)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Kenaikan Royalti Minerba Bikin Was-Was, Apa Dampaknya?

Next Article Pemerintah Ubah 2 Aturan Soal Tarif Royalti & PNBP Minerba