Klh Soroti Disparitas Akses Air Bersih Perkotaan Dan Pedesaan

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX
KLH Soroti Disparitas Akses Air Bersih Perkotaan dan Pedesaan Ilustrasi(Dok KLH)

PEMERINTAH berupaya mengantisipasi tantangan persoalan air nan semakin kompleks akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Sigit Reliantoro mengatakan terdapat disparitas antara perkotaan dan pedesaan dalam akses air bersih. Di sisi lain perubahan suasana telah mengubah pola intensitas hujan secara drastis.

"Baru-baru ini, Bekasi dan Jakarta dilanda banjir akibat curah hujan ekstrem 115 milimeter (mm), padahal 100 mm saja sudah masuk kategori ekstrem," kata Sigit pada aktivitas Forum Air Indonesia di Jakarta, Rabu (26/3).

Menurutnya, aktivitas manusia nan mengganggu tutupan lahan memperburuk kondisi ini. Catatan KLH menunjukkan tutupan vegetasi rimba di wilayah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi hanya tersisa 3,53%, sedangkan di hulu DAS Ciliwung hanya 10–11%. "Saat hujan deras, sekitar 80% air menjadi limpasan, meningkatkan akibat banjir," ujarnya.

Ia menambahkan kesiapan air di Indonesia tidak merata. Jawa dan Bali-Nusa Tenggara masuk kategori kritis dengan defisit air di Jawa mencapai 118 miliar meter kubik per tahun. Sebaliknya, Sumatera dan Kalimantan tetap mempunyai persediaan air nan cukup. 

Dari sisi kualitas, pemantauan terhadap 2.195 sungai menunjukkan hanya 2,19% titik nan memenuhi baku mutu air, sementara 96% tercemar ringan dan sebagian mini tercemar berat. "Pencemaran ini menyulitkan penyediaan air bersih lantaran memerlukan teknologi pengolahan lebih canggih dan berbiaya tinggi," kata Sigit.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan kapabilitas tampungan air melalui konservasi dan revitalisasi sumber air seperti danau, situ, dan air tanah.

"Kami juga meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk pertanian dengan metode padi irit air nan dapat mengurangi pemakaian air hingga 30% serta meningkatkan produktivitas hingga dua ton per hektare," ujarnya.

Ia juga menyoroti ketimpangan pengedaran air di beragam wilayah, terutama di Jawa dan Bali. Salah satu solusi nan didorong adalah pemerataan pengedaran masyarakat ke luar Jawa. 

"Kami juga mendukung pengembangan peternakan di luar Jawa dan Bali untuk mengurangi beban kebutuhan air," tambahnya.

Dalam perihal penyediaan air minum, Diana menyebut cakupan akses air minum nan kondusif baru mencapai 43% sedangkan nan memenuhi standar hanya 40,2%. "Kami berupaya meningkatkan sistem penyediaan air minum nan terintegrasi dengan sanitasi," katanya.

Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air Retno Marsudi mengungkapkan gletser sebagai sumber utama air tawar telah kehilangan 900 gigaton air dalam 50 tahun terakhir. "Ini berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut hingga 20 cm sejak 1900," katanya.

Ia juga mencatat sekitar 32 juta orang terdampak banjir, sementara 680 juta orang di pesisir terancam oleh naiknya air laut. Selain itu, 29 juta orang mengalami akibat kekeringan, dan pada 2050 diperkirakan tiga perempat wilayah bumi bakal menghadapi krisis air.
"Pencemaran juga menjadi ancaman serius. Sebanyak tiga miliar orang hidup dengan akibat air terkontaminasi," ujarnya.

Menurut Retno, krisis air ini memerlukan kerja sama dunia antara pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya. 
"Air adalah sumber kehidupan dan komponen utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," tutup mantan Menteri Luar Negeri RI ini. (H-2)