ARTICLE AD BOX

CINTA, dalam esensinya nan paling murni, tak mengenal syarat. Ia tidak berjuntai pada hadiah, tidak diukur dengan jumlah kembang nan diberikan, dan tidak terbatas pada satu hari perayaan. Namun, di era modern, cinta sering kali dikemas sebagai komoditas.
Hari Valentine, nan jatuh setiap 14 Februari, adalah salah satu contoh gimana makna cinta bisa tergeser menjadi sekadar arena konsumsi massal. Alih-alih merayakan Valentine sebagai puncak romantisme, tidakkah kita perlu merenung, apakah hari ini betul-betul melambangkan cinta alias sekadar fatamorgana nan dijajakan dalam bentuk cokelat, kartu ucapan, dan boneka beruang?
Romantisasi nan berujung komersialisasi
Sejarah mencatat, Valentine bukanlah sekadar hari kasih sayang nan manis. Legenda nan paling terkenal berasal dari abad ke-3, ketika Kaisar Claudius II melarang pernikahan bagi para prajurit muda lantaran dianggap mengganggu tugas militer mereka.
Seorang Imam berjulukan Valentine menentang kebijakan ini dengan menikahkan pasangan secara diam-diam. Akibatnya, dia dihukum meninggal pada 14 Februari tahun 269 M. Ironisnya, kisah pengorbanan ini justru berkembang menjadi seremoni konsumtif di era modern.
Data dari National Retail Federation (2023) menunjukkan bahwa pengeluaran dunia untuk Valentine mencapai lebih dari U$25,9 miliar dengan pembelian perhiasan, bunga, dan cokelat sebagai produk utama. Di Indonesia, seremoni Valentine juga semakin marak, terutama di kalangan anak muda. Menurut riset Populix (2022), 43% masyarakat urban Indonesia merayakan Valentine dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp300.000 per individu.
Pertanyaannya, apakah cinta kudu mempunyai harga? Dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More is Less (2004), Barry Schwartz menjelaskan bahwa budaya konsumtif sering kali menciptakan ilusi kebahagiaan. Kita diajarkan bahwa semakin banyak peralatan nan kita beli, semakin besar pula rasa cinta nan bisa kita tunjukkan.
Namun, faktanya, kepuasan emosional justru semakin berkurang ketika cinta dikaitkan dengan transaksi material.
Cinta nan sejati tidak memerlukan pembuktian dalam corak barang. Ia datang dalam corak kepercayaan, kesetiaan, dan pengorbanan. Jika Valentine hanya menjadi arena pamer bingkisan di media sosial, apakah itu tetap bisa disebut cinta?
Valentine dan pemanfaatan perasaan
Valentine tidak hanya mempermainkan makna cinta, tetapi juga memanfaatkan kerentanan emosi manusia. Mereka nan berada dalam hubungan romantis dipaksa mengikuti arus 'kewajiban' memberi hadiah, sementara mereka nan tidak mempunyai pasangan seringkali merasa tersisih.
Menurut Journal of Social and Personal Relationships (2021), tingkat kekhawatiran sosial meningkat 20% pada perseorangan lajang menjelang seremoni Valentine. Media sosial memperparah situasi ini dengan membanjiri lini masa dengan gambar pasangan nan seolah-olah hidup dalam romansa sempurna.
Fenomena ini sering disebut sebagai highlight reel effect. Artinya, hanya sisi terbaik dari kehidupan nan dipamerkan, menciptakan tekanan sosial bagi mereka nan tidak mempunyai cerita cinta nan bisa di-posting.
Tak hanya itu, komersialisasi Valentine juga berakibat pada langkah anak muda memaknai cinta. Psikolog Dr. Jean Twenge dalam bukunya iGen (2017) menemukan, bahwa generasi muda nan tumbuh di era digital lebih condong mengukur nilai hubungan berasas ekspektasi media sosial, bukan pada hubungan nyata. Akibatnya, banyak nan merasa hubungan mereka 'kurang berarti' jika tidak sesuai dengan standar nan diciptakan oleh industri intermezo dan pemasaran.
Apakah ini nan kita inginkan? Cinta nan dipaksa masuk dalam standar kapitalisme?
Mengembalikan makna cinta nan sejati
Valentine semestinya bukan sekadar perayaan, tetapi peringatan. Bukan arena membeli hadiah, tetapi refleksi tentang gimana kita mencintai dan menghargai orang-orang terdekat.
Cinta sejati tidak selalu kudu ditunjukkan dengan cokelat alias bunga, tetapi dengan kepedulian nan tulus. Finlandia, negara nan konsisten masuk dalam ranking teratas World Happiness Report, mempunyai budaya merayakan Valentine dengan langkah nan berbeda.
Di sana, 14 Februari dikenal sebagai Friendship Day (Hari Persahabatan). Masyarakat lebih konsentrasi menunjukkan kepedulian kepada kawan dan keluarga, bukan hanya kepada pasangan romantis.
Kita bisa mengambil inspirasi dari pendekatan ini. Daripada sekadar mengikuti arus seremoni nan dipenuhi simbol-simbol materialistis, kenapa tidak menjadikan Valentine sebagai momen untuk berbagi dengan mereka nan betul-betul membutuhkan?
Di Indonesia, kita bisa merayakan cinta dengan langkah nan lebih bermakna.
1.Membantu sesama. Alih-alih menghabiskan duit untuk bingkisan mahal, kita bisa menyumbangkan sebagian rezeki kepada mereka nan kurang beruntung.
2.Menguatkan ikatan keluarga. Valentine bisa menjadi waktu nan tepat untuk menghabiskan momen berbobot berbareng orang tua, saudara, alias kawan nan mungkin sering kita abaikan dalam kesibukan sehari-hari.
3. Mengenali cinta dalam corak nan lebih Luas. Cinta bukan hanya tentang pasangan. Ia juga tentang persahabatan, kasih sayang orang tua, dan apalagi kepedulian terhadap diri sendiri.
Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan bisa ikut serta dalam upaya mengedukasi generasi muda tentang makna cinta nan lebih sehat. Alih-alih hanya menyoroti aspek romantis Valentine, sekolah bisa mengajarkan nilai-nilai empati, kepedulian, dan tanggung jawab dalam hubungan sosial.
Cinta sejati tidak memerlukan tanggal
Jika cinta adalah sesuatu nan tulus, dia tidak memerlukan tanggal unik untuk dirayakan. Cinta sejati datang dalam setiap perhatian kecil, dalam kesabaran menghadapi pasangan, dalam ketulusan memberi tanpa mengharap balasan.
Hari Valentine bisa menjadi arena introspeksi, bukan sekadar seremoni kosong. Daripada mengikuti arus komersialisasi nan mengaburkan makna cinta, kenapa tidak menjadikannya sebagai momen untuk memahami cinta dalam corak nan lebih mendalam?
Cinta nan sejati tidak diukur dari seberapa mahal bingkisan nan diberikan, tetapi dari gimana kita bisa mencintai tanpa syarat tanpa terikat pada tanggal, tanpa terbebani oleh ekspektasi sosial, dan tanpa kudu membuktikan diri dengan materi.
Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam salah satu puisinya, "Di luar pendapat betul dan salah, ada ladang. Aku bakal menyusuri jalan menuju tempat itu, menemui dirimu di sana." Begitulah semestinya cinta. Tidak perlu ada syarat, tidak perlu ada batasan, tidak perlu ada tanggal. Sebab, cinta sejati tak pernah memerlukan hari unik untuk hidup dalam hati kita.