ARTICLE AD BOX
librosfullgratis.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut MK, kata dia, Pasal 222 nan mengatur mengenai persyaratan periode pemisah pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.
"Tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," tegas Suhartoyo.
Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.
Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan mengenai pengetesan periode pemisah pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.
Dia berambisi semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik bakal tercipta di awal tahun 2025.
Terbatasnya Hak Konstitusional
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden nan selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini berakibat pada terbatasnya kewenangan konstitusional pemilih mendapatkan pengganti nan memadai mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat nan terbelah) nan sekiranya tidak diantisipasi menakut-nakuti kebhinekaan Indonesia.
Jika Dibiarkan, Bisa Muncul Calon Tunggal
Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden bakal terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam kejadian pemilihan kepala wilayah nan dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal alias pemilihan dengan kotak kosong.
Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan alias mempertahankan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berkesempatan alias berpotensi terhalangnya penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika perihal itu terjadi, makna asasi dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bakal lenyap alias setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan nan hendak dicapai dari perubahan konstitusi, ialah menyempurnakan patokan dasar mengenai agunan penyelenggaraan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.