Mk: Penghapusan Presidential Threshold Bisa Cegah Pilpres Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX
 Penghapusan Presidential Threshold Bisa Cegah Pilpres Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong Wakil Ketua MK Saldi Isra.(Dok. Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan bahwa jika pengaturan presidential threshold terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden alias pilpres bakal terjebak dengan calon tunggal melawan kotak kosong.

Wakil Ketua MK Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan norma Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 menjelaskan kecenderungan tersebut, paling tidak dapat dilihat dalam kejadian pemilihan kepala wilayah nan dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal alias pemilihan dengan kotak kosong.

“Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan alias mempertahankan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berkesempatan alias berpotensi terhalangnya penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi di Gedung MK pada Kamis (2/1)

Jika perihal itu terjadi, kata Saldi, maka makna asasi dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bakal lenyap alias setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan nan hendak dicapai dari perubahan konstitusi, ialah menyempurnakan patokan dasar mengenai agunan penyelenggaraan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.

Selain itu, Saldi menegaskan bahwa sekalipun norma presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, sebagai negara dengan sistem presidensial nan dalam praktik tumbuh dalam bebatan model kepartaian majemuk (multi-party system), partai politik tetap kudu memperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Agar jumlah pasangan calon sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Semua partai politik nan telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode nan berkepentingan alias saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU Pemilu, pembentuk undang-undang, dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah nan terlalu banyak,” ujarnya.

Jika calon nan muncul melampaui jumlah partai politik nan ada, menurut MK perihal itu dapat berpotensi merusak prinsip penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 nan pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua (second round),

“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden nan terlalu banyak belum menjamin berakibat positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik kerakyatan presidensial Indonesia,” kata Saldi.

Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah nan terlalu banyak dengan memperhatikan beberapa hal.

“Pertama, semua partai politik peserta pemilu berkuasa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah bangku di DPR alias perolehan bunyi sah secara nasional,” ujar Saldi.

Ketiga, kata Saldi, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat berasosiasi sepanjang campuran partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan kekuasaan partai politik alias campuran partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

“Keempat, partai politik peserta pemilu nan tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan hukuman larangan mengikuti pemilu periode berikutnya,” jelas Saldi.

Kelima, lanjut Saldi, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak nan mempunyai perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk partai politik nan tidak memperoleh bangku di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik nan berarti (meaningful participation). (Z-9)