ARTICLE AD BOX
Jakarta, librosfullgratis.com - Permasalahan nan sekarang tengah menekan kelas menengah di Indonesia, seperti anjloknya daya beli tidak bisa diselesaikan seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, banyaknya kelas menengah nan sekarang jatuh ke lembah kemiskinan merupakan pengaruh persoalan bertahun-tahun.
"Penyelesaian ini jika ditanya kudu jangka pendek memang terus terang agak sulit, lantaran penurunan daya beli ini kan juga bukan proses jangka pendek," kata Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro dalam program Cuap-Cuap Cuan librosfullgratis.com, dikutip Senin (23/12/2024)
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia tetap sebanyak 57,33 juta orang alias setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang alias setara 17,13%.
Pada 2019, jumlah kelas menengah rentan alias aspiring middle class sebanyak 128,85 juta, lampau pada 2021 menjadi 130,82 juta dan pada 2024 menjadi 137,50 juta. Sementara itu, jumlah kelas rentan miskin naik dari 54,97 juta orang, menjadi 58,32 juta orang, dan pada 2024 menjadi 67,69 juta orang.
Bambang menjelaskan, untuk kembali memperbaiki kondisi kelas menengah tersebut memang tak ada langkah lain selain menjaga tingkat inflasi bahan pangan bergolak tidak terus meningkat, agar daya belinya terjaga. Di sisi lain, mengurangi biaya transportasi nan menjadi kebutuhan pokok mereka untuk mobilitas.
Pengurangan biaya transportasi ini menurutnya tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan subsidi daya pada komoditasnya, lantaran berisiko besar salah sasaran dan menguras banyak anggaran pemerintah untuk shopping produktif lainnya.
"Satu sisi subsidi BBM tentunya dianggap bakal menolong, tapi sudah saatnya juga kita melakukan semacam perubahan bahwa subsidi BBM itu jangan sampai hanya diberikan begitu saja dan akhirnya salah sasaran," ucap Bambang.
Ia menyarankan, anggaran subsidi daya nan saat ini bisa nyaris tembus Rp 500 triliun sendiri dialihkan menjadi tiga bagian: pertama, untuk subsidi daya hijau untuk mendukung percepatan transisi energi; kedua, subsidi daya untuk investasi di sektor transportasi publik, dan ketiga adalah support langsung berasas satu identitas, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Khusus untuk pengalihan subsidi daya untuk investasi pada sektor transportasi publik menurutnya bakal banyak membantu daya beli kelas menengah. "Karena saya mendengar cerita langsung dari seseorang nan tinggal kebetulan di Tangsel, Tangerang Selatan, setiap hari kudu ke kantornya di Jakarta, di wilayah Sudirman, Thamrin itu," ucap Bambang
Mantan menteri finansial periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo itu mengatakan, dengan transportasi publik seperti kereta api, masyarakat kelas pekerja bisa menghemat biaya perjalanannya, dari nan menggunakan kendaraan pribadi bisa di atas 50 ribu per hari menjadi hanya Rp 4 ribu per hari.
"Jadi bisa terbayangkan sungguh pentingnya public transportation untuk jaga daya beli. Dibanding Rp 4.000 tadi ya meskipun dengan emosi kadang-kadang kurang nyaman alias segala macam, tapi baginya nan krusial saya bisa bekerja setiap hari," kata Bambang.
Solusi terakhir, dia mengatakan, pemerintah sudah saatnya memperluas cakupan kebijakan jaring pengaman sosial untuk kelas menengah rentan alias aspiring middle class maupun kelas rentan miskin.
"Jadi saya pelajari di beragam negara nan sama-sama dengan kita kategorinya emerging markets and developing kunci mereka untuk satu, mengurangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, itu terletak pada social security sistem nan kuat dan itu kudu dimulai bagaimanapun dengan single identity number, hanya itu langkah untuk kita bisa menyalurkan support tepat sasaran," tegasnya.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pemerintah Ungkap Jurus Jaga Daya Beli Warga Saat PPN Naik
Next Article Tanpa Kelompok Ini Ekonomi RI Tak Berdaya!