ARTICLE AD BOX
Jakarta, librosfullgratis.com - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah dengan tegas menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib bagi seluruh produk tekstil. Usulan ini muncul sebagai langkah perlindungan terhadap industri dalam negeri, sekaligus sebagai strategi non-tarif barrier untuk mengatasi defisit neraca perdagangan.
Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil menyebut Indonesia bisa belajar dari India dalam penerapan standar wajib untuk produk tekstil. Katanya, India saat ini telah menerapkan izin standar wajib alias Quality Control Order (QCO) nan dikeluarkan oleh Bureau Indian Standard (BIS) untuk semua produknya, tidak terkecuali untuk produk tekstil.
"Kita kudu belajar dari India sebenarnya, lantaran jika India ini mereka menerapkan standar wajib untuk semua produk, dan ini mulai berjenjang sih dari serat, kemudian benang, mungkin kelak kain. Nah mereka ini cukup sistematis, lantaran mereka mengeluarkan standarnya, kemudian industri dalam negerinya mematuhi terhadap standar itu," kata Farhan kepada librosfullgratis.com, Jumat (14/2/2025).
Dengan standar ini, pemerintah India dapat mengontrol produk impor nan berkontribusi pada defisit perdagangan, sehingga industri dalam negeri bisa berkembang.
"Dengan adanya standar wajib itu, India bisa memberikan rekomendasi terhadap produk-produk nan memang neraca perdagangannya minus, sehingga industri dalam negerinya bisa tumbuh kan. Itu nan terjadi di India," ujarnya.
Penyebab SNI Wajib Sulit Diterapkan Merata
Farhan menekankan, Indonesia juga mempunyai neraca perdagangan tekstil nan negatif, dengan selisih sekitar US$2-3 miliar. "Kalau itu selisih neraca perdagangannya. Tapi jika berasas volume, itu minus, lantaran memang nomor ekspor kita tinggi sedangkan nilai impor kita rendah, lantaran terjadi dumping dan macam-macam lah nan harganya jauh lebih murah," sambung dia.
Dengan menerapkan standar wajib, menurutnya, Indonesia bisa menciptakan halangan non-tarif untuk melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor murah.
Meski telah diusulkan, kebijakan SNI wajib untuk semua produk tekstil belum mendapat persetujuan dari pemerintah. Menurut Farhan, salah satu argumen utamanya adalah kekuasaan upaya mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam industri busana jadi. Penerapan standar wajib dianggap bisa memberatkan mereka, terutama di tengah persaingan dengan produk impor murah dan busana bekas.
"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akhirnya menarik usulan ini lantaran UMKM tetap kesulitan bersaing, apalagi jika kudu memenuhi standar SNI nan ketat," jelasnya.
Selain mendorong izin SNI wajib, APSyFI juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap patokan labeling berkata Indonesia. Saat ini, tetap banyak importir nan tidak mematuhi patokan ini, apalagi beberapa hanya menempelkan stiker label nan mudah hilang.
"Importir nan bandel ini sebetulnya dalam memasukkan peralatan ke dalam negeri, mereka melakukan labeling disini. Nah ini kan jika diperhatikan, pelabelan bahasa Indonesia alias SNI itu hanya ditempel stiker saja, bukan di hangtag alias di bajunya ya, jadi mudah lenyap gitu loh. Itu juga jadi problem," kata Farhan.
Baju Bayi Wajib SNI Tapi Penegakan Hukum Masih Lemah
Hal ini juga menjadi perhatian Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI). Direktur Eksekutif YKTI Ardiman Pribadi menegaskan, pemerintah kudu lebih serius dalam menegakkan patokan ini.
"Kami Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menegakkan patokan tanggungjawab penggunaan label berkata Indonesia dan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib. Aturan ini sangat krusial bagi kita sebagai konsumen, agar dapat mengetahui spesifikasi serta kualitas peralatan nan dibeli," kata Ardiman dihubungi terpisah.
Dia pun menjelaskan, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 telah mewajibkan semua jenis busana dan kain nan beredar di Indonesia untuk mencantumkan label dalam bahasa Indonesia. Kewajiban ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak 2015. Namun, hingga kini, nyaris tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap patokan tersebut.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penegakan norma mengenai SNI busana bayi sangat lemah. Produk-produk nan semestinya memenuhi standar keamanan dan keselamatan untuk bayi tetap bebas beredar, apalagi dijual secara terang-terangan di platform online tanpa memenuhi standar SNI.
"Sayangnya, hingga sekarang belum ada tindakan tegas dari pihak berwenang," ucapnya.
Oleh lantaran itu, YKTI meminta kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam menegakkan patokan ini. Penegakan norma nan lemah hanya bakal merugikan konsumen, terutama dalam perihal keselamatan dan kualitas produk nan digunakan sehari-hari.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Festival Keagamaan di India Makan Korban, 40 Tewas
Next Article Kemenperin Bongkar Fakta Baru, Akui RI Kalah dari Vietnam-Malaysia