ARTICLE AD BOX
librosfullgratis.com, Jakarta - Penasihat Hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih mempertanyakan gugatan nan disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) senilai Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022.
Angka kerugian negara nan diperoleh dari kalkulasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu disebutnya tidak pernah dijadikan bukti norma dalam persidangan, sehingga dinilai lemah secara hukum.
“Pernyataan Jaksa Penuntut Umum nan menyatakan persoalan mengenai kewenangan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian finansial negara, sudah merupakan perihal nan usang, membikin kami perlu untuk menyampaikan kembali apa nan mau kami sampaikan,” tutur Junaedi kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).
“Mungkin dengan bahasa nan jauh lebih sederhana sehingga pesan kami dapat dengan mudah diserap oleh Jaksa Penuntut Umum,” sambungnya.
Dia menyebut, PKKN nan dibuat BPKP tidak pernah dijadikan bukti nan disampaikan kepada pihak penasihat hukum. Bahkan, dari paparan mahir BPKP jelas terlihat bahwa laporan PKKN itu tidak memenuhi syarat formil dan materiil.
“Dengan demikian, tanggapan Jaksa Penuntut Umum dalam repliknya mengenai dengan pembelaan kami atas laporan PKKN nan dibuat oleh BPKP, menandakan bahwa Jaksa Penuntut Umum belum memahami intipati dari pembelaan kami,” jelas dia.
Junaedi mencatat, laporan PKKN nan dibuat oleh BPKP tidak pernah dijadikan bukti nan disampaikan kepada penasihat hukum, dengan tidak diberikannya laporan PKKN, termasuk ketika mahir BPKP menyampaikan paparannya di persidangan.
Pada saat penyerahan arsip tuntutan, Jaksa Penuntut Umum disebutnya tidak mempunyai minimal dua perangkat bukti nan sah untuk membuktikan adanya kerugian finansial negara, nan merupakan akibat dari perbuatan terdakwa.
Perolehan Bukti
Dengan demikian, majelis pengadil Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat semestinya tidak dapat mempertimbangkan terpenuhinya unsur kerugian finansial negara nan didasarkan pada laporan PKKN, mengingat info itu tidak pernah diberikan kepada penasihat norma terdakwa.
“Majelis Hakim hanya dapat mempertimbangkan keterangan Ahli BPKP saja, nan mana bakal kami terangkan lebih lanjut adanya abnormal formil dan materiil dari keterangan Ahli,” ungkapnya.
Junaedi mengulas, perolehan bukti nan digunakan oleh BPKP dalam menghitung kerugian finansial negara tidak memenuhi unsur cukup, andal, relevan dan bermanfaat. Ahli BPKP juga tidak melakukan verifikasi atas arsip dan info nan diterima, terutama keterangan saksi dan terdakwa, nan menurut keterangan mahir dimasukkan dalam Laporan PKKN untuk melakukan kajian dan pertimbangan bukti.
Dia menegaskan, auditor BPKP kudu mengidentifikasi, mengkaji, dan membandingkan semua bukti nan relevan dengan mengutamakan prinsip corak alias substance over form.
Selain itu, mahir BPKP juga menyimpulkan penyimpangan nan menjadi dasar untuk menghitung kerugian finansial negara, hanya dengan menggunakan keterangan mahir nan didasarkan pada bangunan perkara nan dibuat oleh penyidik, tanpa melakukan verifikasi atas info tersebut dan tidak menggunakan mahir nan kompeten di bagian pertambangan.
“Bahwa akibat norma nan timbul andaikan proses dan hasil audit penghitungan kerugian finansial negara tidak mempedomani Standar Audit Intern Pemerintah (SAIPI) dan Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Nomor 2 Tahun 2024 adalah proses dan hasil audit PKKN tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional,” Junaedi menandaskan.
Tuntutan
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan terhadap suami artis Sandra Dewi ialah Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi komoditas timah. Majelis pengadil diminta menjatuhkan balasan selama 12 tahun penjara.
“Menuntut, menyatakan terdakwa Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian duit sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ke-1 KUHP,” tutur JPU saat membacakan tuntutan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun tahun, dikurangi lamanya terdakwa dalam tahanan dengan perintah tetap ditahan di Rutan,” sambungnya.
Jaksa juga menuntut agar majelis pengadil menghukum Harvey Moeis dengan denda Rp 1 miliar, dengan ketentuan andaikan tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun. Tidak ketinggalan pula tuntutan duit pengganti.
“Membebankan terdakwa bayar duit pengganti sebesar Rp210 miliar, dengan ketentuan andaikan terdakwa tidak dapat bayar duit pengganti tersebut selama satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum, tetap maka kekayaan bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutup duit pengganti tersebut,” kata JPU.
“Dan dalam perihal terdakwa tidak mempunyai kekayaan barang nan mencukupi untuk bayar duit pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun,” lanjutnya.
Hal nan Memberatkan dan Meringankan
Adapun perihal nan memberatkan dan meringankan dalam tuntutan tersebut, untuk nan memberatkan bahwa perbuatan terdakwa Harvey Moeis tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelengaran negara nan bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; telah mengakibatkan kerugian finansial negara nan sangat besar sejumlah Rp 300.003.263.938.131,14; telah menguntungkan diri sendiri sebesar Rp210 miliar; dan berbelitan dalam memberikan keterangan di persidangan.
“Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya,” JPU menandaskan.