ARTICLE AD BOX
librosfullgratis.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto dinilai perlu mempertimbangkan keterlibatan golongan masyarakat sipil kritis dalam kabinet pemerintahannya.
Hal ini menurut Akademisi Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas menjadi krusial setelah memandang beragam gejolak nan terjadi paska 100 hari jalannya pemerintahan Kabinet Merah Putih.
“Paska 100 hari pemerintahan berjalan, beberapa kontraksi terjadi, seperti terkuaknya judol dan kasus-kasus korupsi nan diduga melibatkan pejabat namun nihil tindak lanjut penuntasannya, ketidakjelasan penerapan program Makan Bergizi Gratis, problem efisiensi anggaran, melemahnya perekonomian dan penurunan nilai saham, sampai gelombang demonstrasi mahasiswa terhadap UU TNI nan berujung ricuh dengan tindakan kekerasan. Menurut saya situasi ini kudu diantisipasi Presiden Prabowo secara jeli dengan formula politik nan baik,” kata Shiskha, dikutip Rabu (26/3/2025).
Menurut ahli politik internasional lulusan Jerman ini, menghadapi situasi dan tekanan nan pelik ini, salah satu upaya nan dapat dilakukan Prabowo adalah memposisikan pemerintahannya untuk lebih terbuka dan inklusif. Hal itu dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan keterlibatan beragam golongan masyarakat sipil seperi teknokrat dan intelektual kritis nan mempunyai kepedulian dan kepakaran di dalam pemerintahan.
“Secara alamiah, mereka justru lebih bisa menangkap suasana kebatinan rakyat, sekaligus membangun komunikasi nan baik dengan masyarakat,” katanya.
Shiskha mencontohkan dalam setiap fase kepemimpinan, para presiden Indonesia selalu menempatkan golongan intelektual berasosiasi dan menjadi motor pemerintahan. Awal Indonesia merdeka adalah era pemerintahan nan dijalankan sosok-sosok intelektual kritis, ditandai oleh Soekarno, Hatta, sampai Jenderal Nasution.
Awal Orde Baru, kreasi ekonomi nan kokoh dilakukan golongan intelektual kritis termasuk ayah dari Presiden Prabowo sendiri, Soemitro Djojohadikusumo. Begitupun era Gus Dur, Megawati, SBY sampai Jokowi. Kelompok masyarakat sipil berbudi pekerti dan intelektual independen diajak berasosiasi menjalankan pemerintahan.
“Apalagi dalam konteks pergeseran geopolitik dan geoekonomi global, sangat dibutuhkan sinergi seluruh kekuatan politik domestik dalam membangun kegunaan negara nan kokoh dan resilient terhadap perubahan. Kelompok masyarakat sipil nan independen, kritis, justru dibutuhkan negara untuk memberikan pemikiran pengganti sekaligus merumuskan kebijakan nan tepat," kata dia.
"Publik condong menerima dan mendukung kehadiran golongan akademisi, masyarakat sipil dan intelektual nan kritis dalam pemerintahan,” Shiskha menambahkan.