ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Makanan apa nan kita santap adalah urusan nasib kita manusia, dan puasa Ramadhan bagi saya juga sedikitnya tentang perihal itu dalam konteks efektivitas puasa sebagai laku nan mengantar ke gapura pencerahan batin. Falyanzuril insanu ila ta'amih. Ini tentang makan, maka hendaklah manusia memperhatikan makannya, demikian Firman Tuhan dalam Quran 80:24.
Umumnya, kita baru menyidik riwayat makan kita setelah deretan resep obat diukir master untuk kita, seraya manut atas nasihatnya untuk berjarak dengan makanan ini makanan itu, minuman itu dan minuman ini. Screening super ketat baru dimulai.
Dari sana kematian mungkin tertunda, tapi sayangnya liang kuburnya sudah menganga. Perutmu kuburmu, dan makanan adalah langkah matimu--penyakit nan dipicu akibat jenis makanan nan dikonsumsi tetap merongrong, menggerogoti badan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengejar Ingatan
Perilaku makan kita bias. Dia melenceng jauh dari maksud alamiahnya. Badan kita memerlukan asupan untuk menyokong pertumbuhannya, tapi sayangnya kita bukan memasukkan nan dibutuhkan badan. nan kita masukkan ke badan adalah ingatan. Ingatan bakal makanan.
Kita mengejar ingatan bakal asam, asin, dan manis. Kita berburu ingatan bakal pedas dan gurih, lembut, kenyal, dan renyah. Kita mengidolakan tuntunan fatwa dari gairah dan pengarahan lidah. Kita bermakmum pada kesenangan ilusi rasa-rasa fisik, tanpa peduli lagi kebutuhan asasi badan.
Ingatan rasa-rasa lidah bukan saja telah melahirkan raksasa industri makanan tapi sekaligus menciptakan pribadi-pribadi nan rakus, serakah, paranoid, dan gila terhadap makanan. Bagi orang gila tak soal itu racun mematikan alias sesuatu nan menyokong kelangsungan badan.
Dalam tradisi puasa, jarak waktu 13 jam aktivitas makan dan minum kita mungkin juga dimaksudkan bukan saja memberi ruang bagi tubuh untuk menata tertib isi perut, tapi juga mengkondisikan kita masuk ke ruang kontemplasi untuk secara mendalam mengawasi perilaku kita (antara lain) soal makan dan minum.
Kita jarang eling ketika makan dan minum. Kita tidakhadir selagi tangan sibuk meraih dan mulut lincah mengunyah makanan.
Ingatan pada sensasi dan rasa-rasa bentuk dari suatu pengalaman makan dan minum tertentu telah mengobsesi dan jadi tuntutan tiap kali kita makan. Sehingga peristiwa makan tidaklah pernah sebagai peristiwa kini, selalu merupakan repetisi pengalaman, kelampauan demi kelampauan.
Dapat Ditinggalkan
Tuntunan untuk berjarak waktu dengan urusan makan-minum dalam ibadah puasa kita menjelaskan bahwa tuntutan hasrat, ingatan kenikmatan rasa-rasa lidah bukanlah sebuah kebenaran. Ia dapat ditinggal apalagi ditanggalkan sama sekali.
Dalam puasa, sensasi rasa-rasa ditunda dicerap lidah. Sehingga paling tidak untuk beberapa waktu, ingatan psikologis kita tidak ditambah lagi bebannya. Ibarat bara dalam tungku, ingatan sensasi rasa-rasa itu meredup, mungkin padam. Kecuali kita mengobarkannya lagi.
Mengingat jenis makanan dan minuman tentu saja lumrah, tetapi ingatan dalam ranah jiwa nan meletakkan rasa-rasa bentuk menjadi begitu krusial telah melahirkan perilaku keranjingan, rakus, dan joroknya urusan makan kita.
Sejurus itu, diharapkan tumbuh ke-eling-an nan membawa perubahan pada perilaku makan dan minum kita di lapisan jiwa alias psikologis. Sehingga hubungan kita pada makanan dan minuman juga kembali seimbang, alami: menyukai tapi tidak melekati; tidak menyukai tapi tidak membenci; sekadar memenuhi tapi bukan rakus, nyandu, apalagi serakah menguasai.
Tidak Terjebak Ketagihan
Dalam pandangan Buddhisme, makanan disebut shangkara loka alias dunia — segala nan terkondisi.
Segala nan terkondisi hakikatnya adalah penderitaan. Tidak ada kebebasan dalam nan terkondisi, itulah penderitaan. Karena itu sikap eling lan waspodo dijaga betul selagi makan, sehingga setiap rasa nan dicerap indra tidak meninggalkan jejak rasa suka apalagi sampai terjebak ketagihan.
Mencerap hanya mencerap, dan jika hanya itu, maka Anda tidak ada. Itulah akhir penderitaan, demikian penggalan dari Bhaiya Sutta, salah satu kitab dalam Buddhisme.
Empat puluh tahun silam, sewaktu di sekolah dasar, saya terkesiap dengan aforisma seorang Ahmad Wahib nan terkompilasi dalam kitab Pergolakan Pemikiran Islam: makan adalah pekerjaan nan kudu segera dikerjakan agar sigap terlupakan.
Redaksinya mungkin tidak persis, tapi aforisme itu saya maknai bahwa makan dan minum semestinya tidak saja berhujung lenyap disantap, tapi berhujung dan lenyap pula di lapisan batin. Tak berbekas. Tak ada nan perlu lagi diingat-ingat. Buddhis betul (alm) Ahmad Wahib ini.
Jadi, entah berupa nan digoreng alias dikukus, alias juga nan direbus, alias beragam buah-buahan dan minuman nan tersaji untuk disantap, itu hanya pemenuhan alami kebutuhan badan. Bukan untuk mempercantik badan, apalagi untuk peningkatan status sosial, juga bukan untuk kesenangan lidah, bukan pula untuk tuntutan gairah sensasi rasa-rasa. Makan ya hanya makan.
Makan berkesadaran adalah kewenangan bagi badan kita. Karena hanya dalam nan demikian kita bakal menjadi sangat terjaga untuk menyantap bahan asupan nan selaras bagi semesta badan kita sebagai manusia. Dan, puasa menggedor kesadaran kita nan mungkin lelap selagi terjaga.
Mungkin di situlah baru ada keberkatan dalam rizki, apalagi pengakhiran dari penderitaan, sebagaimana nan selalu kita munajatkan tiap jelang kita bersantap.
Abi Maulana kolumnis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini