ARTICLE AD BOX
librosfullgratis.com, Jakarta Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah membeberkan kesempatan dan tantangan ekonomi Indonesia di tahun 2025. Menurutnya, kesempatan dan tantangan itu perlu dicermati oleh pemerintah agar ekonomi Indonesia bisa survive di tengah gejolak geopolitik dan geoekonomi.
Said menyebut bahwa proyeksi ekonomi makro Indonesia pada tahun 2025 tidak berbeda jauh dengan proyeksi lembaga andal seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Lembaga-lembaga tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 antara 5,1-5,2 persen. IMF memprediksi pertumbuhan perekonomian Indonesia di level 5,1 persen, Bank Dunia sebesar 5,1 persen, dan OECD sebesar 5,2 persen.
"Proyeksi ini sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh dengan sasaran pertumbuhan ekonomi pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen," ujar Said.
Di sisi lain, Ketua DPP PDI Perjuangan itu juga mengatakan, inflasi Indonesia di tahun 2025 tetap terkendali dan berada di level nan rendah. Said menyebut bahwa perihal itu disebabkan dua hal, ialah sisi eksternal dan internal.
"Untuk nomor inflasi rata-rata, Bank Dunia memproyeksikan akan berada di kisaran 2,4 persen, sementara Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan inflasi di level 2,8 persen, dan IMF memperkirakan tingkat inflasi di akhir 2025 mencapai 3,5 persen, sasaran inflasi pada APBN 2025 sebesar 2,5 persen," kata Said.
"Sebaliknya dari sisi internal, kita berpotensi tetap menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama pertumbuhan perekonomian, merosotnya daya beli berakibat pada rendahnya tingkat permintaan," jelasnya.
Sadi juga meminta, pemerintah tidak boleh terlena atas nomor proyeksi ekonomi di tahun 2025 nan tetap terkendali. Menurutnya, proyeksi bisa berubah jika dinamika ekonomi nasional dan globar berubah drastis.
"Untuk itu, mari kita menghitung tantangan ke depan agar lebih awal mempersiapkan diri sekaligus membikin lompatan krusial bagi perekonomian nasional, tujuannya agar hitungan realistis, namun memberikan capaian nan optimistik," ujarnya.
Tantangan Ekonomi ke Depan
Said membeberkan, terdapat tantangan ekonomi nan kudu dihadapi dan dilalui Indonesia sepanjang tahun 2025. Ia menyebut, mulai dari perang tarif hingga turunnya kelas menengah menjadi tantangan.
"Besar kemungkinan bumi bakal dihadapkan perang tarif, China dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan AS dan Uni Eropa," bebernya.
"Uni Eropa memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok, AS juga bakal memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas peralatan ekspor untuk meredam imigran, dan peredaran narkotika, serta AS juga bakal mengenakan tarif ekspor dari negara negara nan melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS," jelas Said.
Menurutnya, jika perang tarif semakin menajam, maka Indonesia bakal terkena spillover effect nan bisa berakibat negatif dan positif.
"Negatifnya, ketidakpastian upaya dunia makin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi, namun jika Indonesia bisa menggantikan produk produk impor nan dibutuhkan kedua negara, maka kesempatan ekspor Indonesia bakal besar," ucap Said.
Ia juga mengungkapkan, ekonomi China sedang mengalami penurunan nan berakibat pada Indonesia. Pasalnya, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi China di 2025 di level 4,5 persen alias lebih rendah dari prediksi pertumbuhan di tahun 2024 sebesar 4,8 persen.
"Jika perekonomian China makin melambat lantaran produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga bakal terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke China," ungkap Said.
"Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi akibat atas menurunnnya perekonomian China, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China nan menurun," imbuhnya.
Perang Tarif dan Turunnya Kelas Menengah
Tantangan nan dihadapi Indonesia pada tahun 2025 lainnya menurut Said adalah perang tarif. Ia menyebut, perang tarif bisa berakibat pada depresiasi USD terhadap rupiah.
"Belajar perang tarif China dan AS tahun 2018 lalu, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol 'risk on', artinya menggenggam USD lebih low risk daripada mata duit lainnya dan jika situasi ini terulang, maka kita kudu bersiap sejak awal untuk memperkuat sistem moneter," ujar Said.
"Saya mengapresiasi Bank Indonesia atas upayanya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian USD dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling," jelasnya.
Said juga mengatakan bahwa pengaruh penguatan USD bakal berjalan lama jika perang tarif berkepanjangan. Ia pun meminta agar pemerintah memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membikin tata perdagangan bumi lebih adil.
"Sedangkan di dalam negeri BI, OJK dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional," katanya.
Di sisi lain, Said juga menyoroti turunnya kelas menengah dan konsumsi rumah tangga di tahun 2025. Menurutnya, turunya kelas menengah menjadi ancaman bagi posisi Indonesia di upper middle income country.
"Pemerintah bisa mengombinasikan program Makan Bergizi Gratis untuk siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi UMKM, libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok Makan Bergizi Gratis," ujarnya.
"Langkah ini bakal berakibat multiplayer ekonomi, karena sektor UMKM bakal menyerap produk produk petani dan peternak, apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia," imbuh Said.
Tumbuhkan Kelas Menengah
Said menyebut bahwa tantangan ekonomi di tahun 2025 bagi Indonesia lainnya adalah menyusutnya kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Data BPS memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen alias Rp3.900 triliun dari total PDB atas nilai bertindak mencapai Rp20.892 triliun," sebutnya.
Said pun mengatakan, meskipun nomor statistik menunjukkan penurunan, namun kesempatan industri manufaktur kita bangkit sangat besar.
"Jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan kelas menangah juga bakal tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, karena kelas menangah bisa menjadi tenaga kerja nan adaptif untuk menopang kebutuhan industri," katanya.
Said pun meminta agar pemerintah membangkitkan industri manufaktur dan mendorong tumbuhnya kelas menangah dengan ekspansi program hilirisasi.
"Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama nan menjadi kebutuhan rantai pasok global," ujarnya.
Said juga mengungkapkan, dengan support prasarana dan UU Ciptaker dapat menurunkan angka Incremental Output Rasio (ICOR). nan dua tahun berturut-turut tertahan di nomor 6 dan tertinggi dibandingkan negara peers.
"Jika kita periksa atas tingginya ICOR, dan dikaitkan dengan laporan The Economist menunjukkan tetap tingginya praktik korupsi, dan problem struktural seperti ketidakefisienan birokrasi n perizinan," ungkapnya.
"Dengan demikian, Indonesia mempunyai kesempatan menurunkan ICOR jika sukses membereskan halangan ekonomi seperti korupsi, dan memberikan pesan nan jelas kepada penanammodal dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun ke depan," imbuh Said.
(*)