ARTICLE AD BOX
RATUSAN umat Kristen di Kota Gaza, Jalur Gaza, Palestina, nan dilanda perang berkumpul di Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius pada Selasa (24/12). Mereka merayakan Natal dengan bermohon agar perang nan telah menghancurkan sebagian besar wilayah Palestina tersebut segera berakhir
Seorang penganut Kristen di Gaza, Ramez Souri mengatakan bahwa dia tidak punya banyak perihal untuk dirayakan pada Natal kali ini. Setelah 14 bulan perang dimulai, dia tetap tidur di laman gereja. Ini tempat serangan udara Israel nan menewaskan ketiga anaknya tahun lalu.
"Tahun ini, kami bakal melaksanakan ritual keagamaan kami dan itu saja," kata Souri, 47. "Kami tetap bersungkawa dan terlalu sedih untuk merayakan alias melakukan apa pun selain bermohon untuk perdamaian," sebutnya.
Sejak dimulai perang, ratusan orang Kristen Palestina telah berkumpul di dua gereja di Kota Gaza, ialah Gereja St. Porphyrius dan Gereja Keluarga Kudus. Mereka tetap tinggal di tempat-tempat suci tersebut meskipun ada operasi militer Israel nan telah menghancurkan sebagian besar kota.
Namun, beberapa pihak sekarang mengatakan bahwa organisasi tersebut mungkin terancam kehilangan pijakannya selama 1.600 tahun di wilayah tersebut. Seperti banyak penduduk Gaza, beberapa orang Kristen hanya berambisi untuk melarikan diri dari wilayah kantong tersebut setelah mengalami berbulan-bulan kekurangan, kehilangan, dan pengeboman.
Bagi mereka nan telah pergi, mereka bakal merasa cukup kondusif untuk kembali ke rumah, apalagi setelah perang berakhir, tetap belum jelas. "Masa depan keberadaan umat Kristen di Gaza sedang diuji," kata Kamel Ayyad, seorang pejabat gereja St. Porphyrius nan melarikan diri ke Mesir pada November 2023, setelah Hamas memimpin perjuangan melawan kolonialisme Israel.
"Saya mencintai tanah air saya tetapi saya tidak bakal segera kembali sebelum menilai situasi politik dan ekonomi," ujarnya.
Perkiraan populasi umat Kristen di Gaza berkisar antara sekitar 800 hingga lebih dari 1.000, meskipun ratusan diyakini telah pergi ke Mesir, Kanada, dan Australia sejak perang dimulai.
Mereka termasuk umat Katolik, nan merayakan Natal pada 25 Desember, dan umat Ortodoks nan bakal merayakan pagelaran tersebut pada 7 Januari.
Seorang pendeta Palestina di Betlehem di Tepi Barat nan diduduki Israel, Munther Isaac, mengatakan banyak umat Kristen nan pernah berkomitmen tinggal di Gaza telah memandang rumah mereka hancur dan sekarang hanya mau menjaga anak-anak mereka tetap aman.
"Saya minta saya salah, tetapi saya bakal terkejut jika ada kehadiran umat Kristen nan kuat setelah perang di Gaza," kata Isaac. "Mereka memberi tahu, kami hanya mau pergi, kami hanya mau melarikan diri dari neraka ini," sebutnya.
Pada Minggu, badan militer utama Israel mengatakan bahwa mereka bersedia membantu untuk mengoordinasikan keluarnya umat Kristen ke negara ketiga. Masalah ini menempatkan para pemimpin Kristen dalam posisi nan sulit.
"Gereja tidak mau bertanggung jawab atas kosongnya organisasi Kristen di Gaza," katanya. Sebelum perang, banyak umat Kristen di Gaza adalah ahli sukses nan tinggal di Rimal, lingkungan nan dulu makmur di Kota Gaza.
Mereka sering menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah harian di Keluarga Kudus, serta beragama di St. Porphyrius, nan merupakan salah satu gereja tertua di dunia.
Paus Fransiskus, nan telah menyerukan gencatan senjata, mengatakan bahwa dia secara teratur berkomunikasi dengan seorang pendeta di Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di Gaza.
"Kemarin, anak-anak dibom," kata Paus Fransiskus nan merujuk pada serangan militer Israel di Gaza. "Ini kekejaman. Ini bukan perang. Saya mau mengatakannya lantaran menyentuh hati," terangnya.
Seperti penduduk lain Gaza, banyak orang Kristen di wilayah kantong itu mengatakan hidup mereka telah lama dibayangi oleh siklus perang dengan Israel dan blokade Israel-Mesir nan mengatur ketat perjalanan dan perdagangan.
Pemerintah nan dipimpin oleh Hamas juga membikin mereka sangat cemas. Hamas membikin beberapa pendekatan kepada orang Kristen, seperti meminta pejabat senior untuk secara terbuka menyambut hari raya Kristen.
Namun, patokan golongan itu tetap saja mempunyai pengaruh nan mengerikan bagi masyarakat, kata Khalil Sayegh, seorang analis politik Gaza dan penganut Kristen.
Sebelum Hamas menguasai penuh Gaza pada 2007, umat Kristen sering meletakkan pohon Natal besar di dekat alun-alun utama di Kota Gaza.
Para pengikutnya nan mengenakan seragam warna-warni berbanjar di jalan-jalan, berbagi musik seremoni dengan perangkat musik tiup kuningan untuk menyambut hari raya.
Setelah Hamas mengambil alih Gaza, umat Kristen merayakan hari raya tersebut sebagian besar di rumah dan gereja mereka. "Di bawah Hamas, ada toleransi bagi umat Kristen untuk beragama di gereja mereka dengan berbanjar di area gereja," katanya. "Namun di sisi lain, tidak ada kebebasan," tambah Sayegh.
Kondisi itu seketika berubah oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, nan menewaskan sekitar 1.200 orang dan menahan 250 orang. Israel menanggapinya dengan serangan udara dan invasi darat nan telah menewaskan lebih dari 45.000 orang, menghancurkan sebagian besar wilayah kantong itu dan membikin nyaris dua juta orang mengungsi.
Hampir seminggu setelah perang dimulai, militer Israel memerintahkan pemindahan massal di Gaza utara, termasuk Kota Gaza.
Sementara umat Kristen bergabung dengan baik di lingkungan mereka nan makmur di Kota Gaza, beberapa orang mengatakan mereka terlalu takut untuk berjalan ke selatan nan lebih konservatif tempat mereka diperintahkan untuk mencari perlindungan. Sebaliknya, ratusan orang memadati kedua gereja, berambisi mendapatkan keselamatan.
Komunitas tersebut membentuk panitia untuk menangani makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan kebutuhan krusial lainnya. "Kami segera memahami bahwa ini tidak seperti perang-perang sebelumnya bahwa organisasi internasional bakal kombinasi tangan setelah satu alias dua minggu," kata George Anton, seorang penduduk Gaza nan berlindung di Gereja Keluarga Kudus.
Namun pada 19 Oktober, serangan udara Israel menargetkan gedung di dekat St. Porphyrius nan menurut militer Israel digunakan oleh Hamas. Pengeboman tersebut juga menghancurkan gedung di dalam kompleks gereja tempat para pengungsi berlindung, menewaskan sedikitnya 18 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Hanya beberapa meter dari tempat kejadian, Souri mengatakan dia memandang gedung itu runtuh. Tim penyelamat kemudian menemukan jasad ketiga anaknya, Suheil, 14, Julie, 12 dan Majd, 11.
Dia menguburkan mereka di sebidang tanah nan nyaris setiap hari dia lihat saat berjalan-jalan di laman gereja, menunggu perang berakhir.
Militer Israel mengatakan bahwa mereka menganggap dua gereja Kristen di Gaza sebagai situs sensitif dan mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari kerusakan pada kedua gereja tersebut.
Namun, serangan udara di St. Porphyrius bukanlah bagian terakhir. Pada Desember 2023, saat pasukan darat Israel bertempur melewati Kota Gaza, dua wanita tewas di Gereja Keluarga Kudus, nan memicu kecaman dari Vatikan.
Patriarkat Latin di Jerusalem mengatakan para wanita itu tewas akibat tembakan penembak jitu Israel.
Militer Israel mengatakan penyelidikan awal menemukan bahwa seorang pejuang Hamas telah menembaki pasukan Israel di dekat gereja, nan mendorong mereka untuk menargetkan pengintai musuh di dekatnya, tetapi tidak secara langsung mengatakan langkah kedua wanita itu tewas.
Namun, umat Kristen di Gaza terus bersandar pada ketaatan mereka saat perang terus berlanjut.
Solidaritas komunal tetap ada, apalagi di bawah beban kelaparan dan pengungsian. Mereka juga menerima support dari gereja-gereja di seluruh dunia.
"Di dalam keamanan tembok gereja, sekolah harian Keluarga Kudus kembali dibuka awal tahun ini," kata Ayyad, pejabat gereja.
Hampir semua sekolah lain di Gaza ditutup, dihancurkan, alias telah diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi.
Minggu lalu, beberapa umat Kristen sukses membikin suguhan liburan nan disebut burbara alias puding beri gandum.
Makanan penutup berwarna-warni ini biasanya dikaitkan dengan tradisi liburan nan berbobot ketika umat Kristen Gaza mengundang tetangga ke rumah mereka.
Tahun ini, penduduk Gaza di St. Porphyrius menuangkan gandum, kacang, dan gula apa pun nan bisa mereka temukan ke dalam tong-tong besar bersama.
Mereka merebus campuran tersebut sebelum menuangkannya dalam jumlah mini ke piring untuk ratusan orang nan lapar.
"Meskipun rasanya tidak sesuai dengan nan diharapkan, kami mau melakukan sesuatu untuk menunjukkan bahwa kami tetap di sini, terlepas dari semua ini," pungkas Souri. (NY Times/Z-2)