ARTICLE AD BOX
Jakarta - Salah satu pesan krusial nan selalu kita rayakan dari seremoni tahun baru adalah tentang angan baru. Kita berambisi pada awal nan baru kita bisa memperbaiki apa nan salah pada tahun nan silam. Kita seakan diberi kesempatan lagi untuk memulai sesuatu nan baru.
Namun, tak semua orang mendapatkan kemewahan itu. Ada di antara kita nan sedang mengalami situasi terpuruk. Badai masalah dan kesulitan nan menerpa seakan mengatakan kepada diri kita bahwa tidak ada lagi angan baru untuk hidupmu. Di sanalah muncul nan namanya keraguan, putus asa, dan patah semangat.
Hidup tampaknya tidak bakal pernah mengantar kepada angan nan lebih baik. Hidup tampaknya hanya bakal membawanya kepada satu kekacauan menuju kekacauan nan lain. Hidup rupanya tidak seromantis film-film nan selalu berupaya menampilkan akhir nan senang untuk setiap cerita (happy ending). Harus diakui hidup tak jarang membikin orang berada di situasi tanpa harapan. Namun, ini bukan akhir dari segala sesuatu.
Hidup manusia bukanlah sebuah cerita nan lurus-lurus saja. Seperti halnya di dalam movie ada nan disebut sebagai plot twist, perubahan arah dan hasil dari sebuah cerita dengan langkah nan tidak terduga. Hidup manusia bukanlah ukuran matematis nan membikin mereka nan saat ini mengalami kekacauan hidup pasti bakal mengalami kekacauan selamanya. Sejarah sudah menunjukkan kepada kita bahwa ada orang-orang nan bangkit dari keterpurukan dan akhirnya tampil sebagai pemenang kehidupan.
Mengatakan bahwa cerita ini adalah cerita nan mudah dijalani kepada mereka nan sedang mengalami kesulitan hidup hari ini pasti hanya bakal menambah luka. Mungkin mereka bakal memilih untuk mengatakan bahwa itu adalah teori. Namun, memang sejarah ada untuk dijadikan pembelajaran. Sebagai awal mungkin baik jika kita mendengarkan ungkapan bijak nan mengatakan, "Adalah baik untuk mengatakan/menerima bahwa hidup kita sedang tidak baik-baik saja."
Kreativitas Hidup
Saat ini, salah satu gambaran hidup ideal nan menjadi angan banyak orang adalah mempunyai family nan ideal, duit nan banyak, pekerjaan nan mapan, dan juga upaya nan berhasil. Citra hidup macam ini cukup digemari oleh banyak pihak di negeri ini. Buktinya konten-konten nan menampilkan artis-artis kaya nan pamer kekayaan dan kesuksesan selalu digandrungi oleh banyak pihak.
Dalam penelitian Roida Pakpahan dan Donny Yoesgiantoro dari Universitas Bina Sarana Informatika dan Universitas Pertahanan pada 2023, ditemukan bahwa kejadian pamer kekayaan (flexing) digandrungi masyarakat, meski belum tentu kemewahan itu benar.
Dalam situs We Are Sosial 2023 ditemukan bahwa sebanyak 167 juta masyarakat Indonesia aktif bermedia sosial. Itulah sebabnya flexing melalui media Tiktok, IG dan Facebook, Youtube dan lain sebagainya menjadi salah satu konsumsi masyarakat ini. Bagi mereka nan melakukan, flexing mempunyai makna positif lantaran membangun branding dirinya, tetapi bagi masyarakat flexing mempengaruhi pola hidup konsumtif dan hedonis. Orang tidak lagi menggunakan peralatan sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi guna mendapat status sosial.
Dalam penelitian Fatkhan Amira Imtihan dan Datu Jatmiko dari Universitas Terbuka dan Universitas Negeri Yogyakarta nan berjudul Fenomena Maraknya Penggunaan Jasa Pinjaman Online Di Desa Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang ditemukan bahwa maraknya orang nan terpengaruh oleh pinjaman online salah satunya dipengaruhi oleh kemauan untuk flexing. Di sana dikatakan, "Keinginan untuk terlihat kaya di masyarakat sering kali mendorong perseorangan untuk melakukan beragam tindakan nan mungkin tidak sesuai dengan kondisi finansial mereka sebenarnya. Kondisi ini muncul ketika seseorang mau mencari pengakuan sosial dan status ekonomi di masyarakat."
Pada bagian berikut dikatakan, "Banyak masyarakat menganggap kekayaan merupakan sebuah simbol prestise dan keberhasilan. Selain itu menonjolkan penampilan kaya dapat membuka pintu kesempatan dan mengundang rasa hormat dari orang lain."
Tentu kita tidak sedang membicarakan tentang pinjaman online. Kita sedang berbincang tentang pengharapan. Pengharapan bakal hidup nan senang itu sekarang terkungkung oleh keahlian materi dan kekayaan fisik. Orang lupa bahwa kebahagiaan itu ada beragam macam bentuknya. Kita kehilangan produktivitas untuk memandang hidup dari perspektif pandang nan lebih luas nan apalagi dalam situasi nan susah pun orang tetap bisa mengatakan bahwa hidupnya beruntung.
Dalam konteks orang Jawa, salah satu ungkapan nan bagus muncul ketika orang kecelakaan. Sederhananya demikian, "Kalau orang itu lecet, orang bakal mengatakan untung hanya lecet. Kalau orang itu patah tangan kiri, orang bakal mengatakan untung hanya tangan kiri. Kalau kedua kakinya patah, orang bakal mengatakan untung cuma patah kaki. Kalau dia tidak sadarkan diri, orang bakal mengatakan untung tidak meninggal. Kalau orang itu meninggal dunia, orang bakal mengatakan untung dia langsung meninggal lantaran jika sampai sakit pasti kudu mengalami cacat."
Leluhur kita punya kepintaran spiritual nan membikin mereka memandang hidup dalam perspektif rasa syukur. Dalam masyarakat Batak, ada ungkapan bijak nan mengatakan, "Sasittongna, molo dipahabisho jatah gagalmu, olo dang olo ho ikkon hasea" nan artinya, "Sesungguhnya jika engkau menghabiskan jatah gagalmu, mau tidak mau kau bakal berhasil." Ungkapan ini pun adalah tentang keberanian untuk memandang hidup dalam perspektif pandang nan lebih luas.
Kebahagiaan tidak hanya bisa dicapai dengan satu jalan saja. Kita hidup bukan dengan kacamata kuda nan membikin kuda tak bisa memandang kiri alias kanan dan hanya menatap ke depan. Kita hidup dengan kepercayaan bahwa ada banyak jalan menuju ke Roma, ada banyak kemungkinan menuju kepada kebahagiaan.
Menuju Harapan Baru
Tahun baru dan angan nan baru kiranya tetap bakal menjadi kesempatan untuk membuka lembaran baru. Mungkin memang titik berangkat kita berbeda-beda, tetapi tujuannya sama ialah mengalami kebahagiaan. Belajar dari beragam ungkapan di atas, kita tahu bahwa kebahagiaan itu ada beragam macam bentuknya.
Sayangnya ada kecenderungan besar di masyarakat kita untuk membandingkan diri dengan orang-orang di sekitarnya. Begitu populernya lagu "wong ko ngene kok dibanding-bandingke" dua tahun silam menjadi bukti sungguh masyarakat kita suka sekali membandingkan hidupnya dengan orang-orang di sekitarnya. Munculnya ungkapan "rumput tetangga selalu tampak lebih hijau" menjadi bukti lain kecenderungan memandang hidup orang lain sebagai pembanding hidup.
Demi tidak menjadi nan paling bawah orang rela melakukan banyak perihal nan justru membikin orang kehilangan menemukan dan memperjuangkan jenis terbaik dari dirinya sendiri. Hal inilah nan menjadi salah satu konsentrasi dari kajian poskolonial ialah realita bahwa masyarakat pasca jajahan adalah masyarakat nan bermental kalah dan suka bakal kemenangan-kemenangan kecil.
Sikap rendah diri membawa orang tidak percaya diri untuk mengatakan bahwa dirinya sudah berbobot di hadapan orang lain. Kajian ini mau membangunkan orang-orang di negeri jejak jajahan bahwa mereka adalah orang-orang nan terhormat dan tidak perlu menyamakan diri dengan para jejak kolonialis untuk menjadi lebih terhormat.
Para leluhur di negeri ini sudah mewariskan rasa syukur nan membikin mereka berbahagia dalam beragam perjuangan hidup. Mereka imajinatif dalam memandang kehidupan. Semoga kita nan hidup pada era media, konsumerisme, dan hedonisme ini tidak menjadi orang-orang nan kehilangan produktivitas untuk mengatakan saya layak untuk berbahagia, apapun keadaan hidup saya.
Selamat tahun baru dan selamat menikmati dan memperjuangkan jenis terbaik dari diri Anda sendiri. Tidak perlulah kita memandang rumput tetangga jika kita sudah bisa menikmati rumput nan ada di rumah sendiri. Tak perlu memandang hidup orang lain lantaran nyatanya kita punya langkah sendiri-sendiri untuk menikmati dan mensyukuri hidup ini.
Martinus Joko Lelono pengajar di Universitas Sanata Dharma
(mmu/mmu)