ARTICLE AD BOX

DALAM beberapa waktu terakhir, sejumlah peristiwa telah memicu obrolan hangat tentang kualitas pendidikan di Indonesia. Sebuah video viral memperlihatkan seorang pembimbing SMA memberikan soal matematika dasar, tapi hanya satu siswa nan bisa menjawabnya dengan benar. Di saat nan sama, seorang tokoh nasional menyoroti absennya Ujian Nasional (UN) sebagai penyebab penurunan mutu pendidikan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali menggulirkan wacana untuk menghidupkan UN sebagai solusi.
Meski tampak terpisah, ketiga peristiwa itu mencerminkan kompleksitas tantangan pendidikan di Indonesia, mulai dari merosotnya kualitas hingga upaya mencari jalan keluar melalui pendekatan lama. Namun, apakah menghidupkan kembali UN betul-betul menjadi solusi nan efektif? Untuk menjawabnya, perlu ditelaah gimana peran UN jika dibandingkan dengan pendekatan pertimbangan lain, seperti nan ditawarkan oleh PISA, guna mencari reformasi nan lebih relevan dan berkeadilan.
UN dan PISA
UN telah lama menjadi instrumen pemerintah untuk menstandarkan pendidikan di Indonesia. Melalui UN, standar kompetensi nasional dirumuskan dan pencapaian siswa dari beragam wilayah dievaluasi. Hasilnya menjadi dasar bagi beragam kebijakan, seperti kurikulum, alokasi anggaran, hingga training guru. Lebih dari itu, UN sering dipandang sebagai motivasi bagi siswa untuk belajar lebih giat, dan perangkat untuk mengidentifikasi kesenjangan pendidikan antarwilayah.
Namun, efektivitas UN dalam membangun sistem pendidikan nan berkeadilan sering dipertanyakan. Fokus UN nan sempit, hanya pada keahlian akademik, mengabaikan keahlian lain nan sama pentingnya, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan soft skills.
Tekanan terhadap hasil UN juga sering memicu praktik teaching to the test, di mana pembelajaran diarahkan semata-mata untuk lulus ujian. Masalah ini diperburuk dengan ketimpangan akses terhadap akomodasi pendidikan di beragam daerah, membikin siswa dari wilayah terpencil sering tertinggal dalam persaingan.
Ketidakpuasan terhadap hasil UN mendorong pemerintah mengikuti PISA, nan mengevaluasi literasi, matematika, sains, serta keahlian kajian dan pemecahan masalah. Namun, hasil PISA mempertegas rendahnya mutu pendidikan Indonesia, menunjukkan bahwa pendekatan UN belum bisa membekali siswa dengan keahlian nan dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global.
Kritik terhadap kitab teks
Ketimpangan hasil pendidikan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kualitas kitab teks dan metode pembelajaran, meskipun keduanya merupakan komponen kunci dalam menciptakan pendidikan nan efektif dan relevan. Buku teks di Indonesia sering kali tidak mempertimbangkan keterpaduan antartema alias jenjang pendidikan sehingga tidak sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Materi nan terlalu rumit alias tidak sesuai dengan usia menjadi hambatan, terutama di tingkat sekolah dasar.
Selain itu, metode pembelajaran nan tetap berfokus pada mahfuz membikin proses belajar menjadi monoton dan kurang bermakna, menghalangi pengembangan keahlian berpikir kritis dan imajinatif siswa. Meskipun banyak kurikulum menekankan pentingnya aspek afeksi di tingkat SD, pertimbangan lebih banyak konsentrasi pada pengetesan pemahaman (kognisi). Hal itu terlihat dari banyaknya kitab LKS nan sering tidak relevan dengan pembelajaran nan diberikan. Oleh lantaran itu, daripada menghidupkan kembali UN, lebih baik mengalihkan konsentrasi untuk memperbaiki kualitas kitab teks.
Menanggapi tantangan ini, guru-guru di Sekolah Sukma Bangsa telah mengambil langkah inovatif dengan meneliti, merevisi, dan menulis ulang sembilan kitab teks untuk jenjang SD hingga SMA selama dua tahun terakhir. Buku-buku itu mencakup mata pelajaran seperti Seni Budaya dan Prakarya (SBdP), IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, Fisika, Kimia, dan Biologi. Semua kitab dirancang agar lebih komprehensif, relevan dengan perkembangan siswa, serta terintegrasi antarjenjang pendidikan.
Tidak hanya itu, pendekatan pedagogis nan digunakan dalam buku-buku ini dirancang responsif terhadap kebutuhan siswa, apalagi melibatkan family dalam pembelajaran melalui konsep homework is a family work.
Dalam pembelajaran Bahasa, tujuan utamanya adalah mengembangkan rasa bahasa dan logika verbal siswa, sedangkan dalam Matematika, fokusnya adalah pada pengembangan logika formal.
Di pembelajaran Seni, siswa SD diajak untuk mengasah rasa seni, siswa SMP didorong untuk berimajinasi, dan siswa SMA diajak untuk menciptakan karya seni. Begitu pula dalam pembelajaran IPS, siswa SD diperkenalkan pada diri mereka sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, serta desa tempat tinggal mereka, sementara siswa SMP mulai mengenal kabupaten, kota, provinsi, Indonesia, dan negara-negara tetangga.
Siswa SMA kemudian diajak untuk memahami Indonesia dan dunia, serta menempatkan diri sebagai penduduk bumi tanpa kehilangan identitasnya. Menjadi penduduk bumi nan peduli pada isu-isu dunia seperti perubahan iklim, perdamaian, dan sekaligus bangga dengan keindonesiaannya.
Saat ini, proses penulisan kitab telah mencapai tahap penyelarasan ilustrasi, penyuntingan, dan tata letak. Namun, pekerjaan belum selesai. Langkah selanjutnya meliputi obrolan golongan terpumpun (FGD) dengan para mahir bagian studi dan pedagogi untuk memastikan buku-buku ini memenuhi standar akademik.
Setelah itu, buku-buku bakal diuji coba di kelas melalui serangkaian training bagi pembimbing untuk memahami filosofi dan langkah penggunaan buku. Guru juga bakal mendapatkan supervisi nan berjalan selama satu tahun ajaran. Langkah terakhir adalah revisi berasas temuan dari uji coba di lapangan untuk memastikan buku-buku ini betul-betul sesuai dengan kebutuhan siswa dan mendukung pendidikan nan berkeadilan.
Reformasi pendidikan di Indonesia memerlukan pendekatan nan lebih menyeluruh, bukan sekadar solusi jangka pendek seperti menghidupkan kembali UN. Pendidikan nan berkeadilan kudu melibatkan perbaikan sistematis dalam kualitas kitab teks, metode pembelajaran, dan pertimbangan nan menyeluruh. Pemerataan akses pendidikan, relevansi kurikulum nan menekankan literasi digital dan keahlian praktis, serta pengembangan karakter siswa menjadi aspek kunci dalam mewujudkan sistem pendidikan nan lebih setara dan progresif.
Dengan kerjasama antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat, kita dapat membangun masa depan pendidikan nan tidak hanya mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan global, tetapi juga membekali mereka dengan nilai-nilai moral nan bakal membentuk mereka menjadi penduduk bumi nan bertanggung jawab. Reformasi ini adalah kunci untuk menciptakan masyarakat nan lebih inklusif, adil, dan bisa bersaing di kancah internasional.