5 Fakta Putusan Mk Hapus Ambang Batas 20% Pencalonan Presiden

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan berangkaian dengan periode pemisah pencalonan presiden alias Presidential Threshold (PT) minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK memutuskan menghapus syarat tersebut.

Keputusan MK ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan semua permohonan pada perkara 62/PUU-XXI/2023.

Berikut 5 kebenaran mengenai putusan MK pada perkara tersebut:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MK Hapus Ambang Batas 20%

MK pun sekarang menyatakan bahwa norma pada Pasal 222 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak lagi mempunyai kekuatan norma mengikat. Dengan demikian, patokan periode pemisah nan tercantum pada UU tersebut tidak bisa lagi diterapkan.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," kata Suhartoyo.

Semua Parpol Bisa Usung Capres

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/librosfullgratis.com Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/librosfullgratis.com

Sementara itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra membeberkan terdapat beberapa poin nan bakal menjadi referensi DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Pemilu. Dia menyebut salah satunya ialah adanya ambang batas minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden adalah tidak sesuai dengan konstitusi.

"Dalam perihal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden nan diusulkan partai politik peserta pemilu," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Meski begitu, MK mengingatkan adanya potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat membengkak dan sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Hal itu pun bakal menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MK menegaskan penghapusan periode pemisah merupakan bagian dari perlindungan kewenangan konstitusional partai politik. Namun, dalam revisi UU Pemilu nantinya, diharapkan dapat mengatur sistem pencegahan lonjakan jumlah pasangan calon berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif.

Ambang Batas Untungkan Parpol Besar

Saldi Isra Foto: Saldi Isra (Ari Saputra)

Selain itu, Saldi Isra menyebut adanya periode pemisah hanya menguntungkan partai politik tertentu. Dia juga menyatakan periode pemisah membikin masyarakat dibatasi dalam menggunakan kewenangan pilihnya lantaran tidak cukup banyak pengganti pilihan pasangan calon nan ditawarkan.

"Satu perihal nan dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran alias persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar alias setidak-tidaknya memberi kentungan bagi partai politik peserta pemilu nan mempunyai bangku di DPR," kata Saldi Isra.

"Oleh lantaran itu, Mahkamah perlu menempatkan dan sekaligus memberikan prioritas pada agunan pemenuhan kewenangan konstitusional penduduk negara (pemilih) untuk mendapatkan calon presiden dan wakil presiden nan lebih beragam melalui kontestasi nan fair dan terbuka nan diusulkan oleh partai politik alias campuran partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," lanjut dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MK menilai pemenuhan kewenangan politik penduduk negara untuk memilih lebih krusial dibanding untuk menyederhanakan partai politik. MK juga menilai tersedianya cukup banyak pengganti pasangan calon nan beragam dapat dipahami sebagai upaya kedaulatan rakyat.

"Bahwa selanjutnya, dengan terus mempertahankan ketentuan periode pemisah minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon," ujarnya.

Selain itu, Saldi mengatakan adanya periode pemisah sebagai syarat mengusung pasangan calon bakal membikin pemilu hanya diikuti beberapa pasangan. Bahkan, kata dia, ada kemungkinan pilpres ke depan hanya diikuti satu pasangan calon.

"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden bakal terjebak dengan calon tunggal," ujar dia.

"Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam kejadian pemilihan kepala wilayah nan dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal alias pemilihan dengan kotak kosong," sambung dia.

Lebih lanjut, MK menilai patokan nilai periode pemisah melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan nan intolerable serta bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945. Saldi mengatakan argumen itu menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya mengenai uji materi periode pemisah pencalonan presiden.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran alias nomor persentase periode batas, tetapi nan jauh lebih mendasar adalah rezim periode pemisah pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran alias nomor persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar dia.

Hakim Anwar Usman dan Daniel Beda Pendapat

Anwar Usman angkat bicara mengenai dirinya nan diberhentikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Anwar menyampaikannya dalam bertemu pers di Kantor MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Foto: Anwar Usman (Grandyos Zafna/librosfullgratis.com)

Dalam putusan tersebut, tidak semua pengadil konstitusi beranggapan sama. Terdapat dissenting opinion alias pendapat berbeda dari dua pengadil konstitusi ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

"Bahwa sehubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo nan baru saja selesai diucapkan, Mahkamah memberikan kedudukan norma kepada para Pemohon hingga kemudian mempertimbangkan pokok perkara dengan mengabulkan untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.

"Terhadap perihal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman mempunyai pendapat norma berbeda (dissenting opinion) dari kebanyakan pengadil konstitusi, khususnya mengenai kedudukan norma para Pemohon," sambungnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anwar Usman dan Daniel menilai pengetesan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah dimohonkan sebanyak 33 kali. Menurutnya, MK telah menegaskan pihak nan mempunyai kedudukan norma untuk mengusulkan pengetesan adalah partai politik peserta pemilu, dan penduduk negara nan mempunyai kewenangan untuk dipilih dan didukung oleh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Anwar Usman dan Daniel berpandangan, untuk menentukan pemohon mempunyai kedudukan norma alias tidak, pemohon kudu menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional nan dialami oleh berlakunya suatu undang-undang.

Menurut dia, pembatasan pihak nan dapat memohonkan pengetesan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukan berfaedah norma a quo 'kebal' (immune) untuk diuji, melainkan lantaran tidak ada kerugian konstitusional pemohon.

"Bahwa berasas seluruh uraian pertimbangan norma di atas, kami beranggapan bahwa Mahkamah semestinya menyatakan para Pemohon tidak mempunyai kedudukan norma dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)," tuturnya.

Komisi II DPR Hormati Putusan MK

Rifqinizamy Karsayuda Foto: Rifqinizamy Karsayuda (Dok. rifqikarsayuda.com)

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda turut mengomentari putusan MK berangkaian dengan periode pemisah pencalonan presiden. Dia menegaskan pihaknya menghormati putusan MK tersebut.

"Kami menghormati menghargai putusan Mahkamah Konstitusi nan menghapus persentase presidential threshold sebagaimana dalam ketentuan undang-undang saat ini," kata Rifqinizamy kepada wartawan, Kamis (2/1).

Rifqinizamy mengatakan DPR bakal menindaklanjuti putusan itu dengan pemerintah dalam membentuk norma baru di undang-undang (UU). "Selanjutnya tentu pemerintah dan DPR bakal menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di undang-undang mengenai dengan persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden," imbuh dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rifqinizamy menilai putusan ini menjadi babak baru dalam kerakyatan di Indonesia. Menurutnya, putusan itu bisa membuka lebih banyak pencalonan presiden dan wakil presiden ke depannya.

"Saya kira ini babak baru bagi kerakyatan konstitusional kita, di mana kesempatan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti dengan lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan nan lebih terbuka. Apa pun itu, Mahkamah Konstitusi putusannya adalah final and binding lantaran itu kita menghormati dan kita bertanggung jawab untuk menindaklanjuti," kata Rifqinizamy.

Lebih lanjut, Rifqinizamy menyinggung rencana pembentukan sistem Omnibus Law Politik nan bakal memasukkan UU Pemilu. Menurutnya, bakal ada penyesuaian dalam UU Pemilu mengenai putusan MK ini.

"Karena ada kemauan membentuk omnibus law politik nan di dalamnya adalah juga mengenai dengan UU Pemilu, maka ya dimasukin ke situ kalo memang kita menganut omnibus law dilakukan," imbuhnya.

(maa/lir)