ARTICLE AD BOX
PENELITI Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Prasetya, menekankan perlunya izin berbasis akibat dalam mengatur produk tembakau pengganti seperti rokok elektrik (vape) dan produk tembakau nan dipanaskan (heated tobacco product/HTP).
Menurut Bambang, hasil kajian BRIN menunjukkan bahwa produk tembakau pengganti mempunyai profil akibat kesehatan nan berbeda dari rokok konvensional.
"Rokok konvensional dibakar dan menghasilkan tar serta senyawa kimia. Sementara produk pengganti tidak melalui pembakaran, sehingga kadar tarnya sangat rendah alias nyaris nol,” jelasnya dikutip dari siaran pers nan diterima, Rabu (30/7).
Bambang menjelaskan bahwa produk-produk ini pada dasarnya mengandung nikotin, nan secara kimiawi serupa dengan kafein pada kopi alias teh.
"Nikotin bukan satu-satunya sumber bahaya. Justru unsur rawan banyak muncul dari proses pembakaran tembakau konvensional,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, kajian BRIN dilakukan melalui literature review serta uji laboratorium terhadap sampel produk nan beredar di Indonesia. Penelitian ini melibatkan laboratorium independen untuk memastikan hasilnya objektif dan kredibel. Beberapa hasilnya sekarang sedang dalam proses publikasi di jurnal ilmiah bereputasi.
Selain aspek kesehatan, Bambang juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek ekonomi. Industri hasil tembakau, menurutnya, menyumbang lebih dari Rp300 triliun per tahun dalam corak cukai dan pajak, serta menyerap jutaan tenaga kerja, terutama di sektor pertanian dan manufaktur.
Terkait izin Kawasan Tanpa Rokok (KTR) nan tengah dibahas di Jakarta, termasuk larangan merokok di tempat hiburan, Bambang berambisi ada perlakuan nan adil.
"Produk nan tidak menghasilkan tar semestinya tidak disamakan dengan nan menghasilkan tar dalam penerapan larangan maupun tarif cukai. Regulasi sebaiknya berbasis risiko, bukan disamaratakan,” ujarnya.
Jumlah perokok nan tinggi di Indonesia tetap menjadi persoalan serius nan belum sukses ditangani pemerintah. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 70 juta perokok aktif, dan angkanya terus bertambah. Upaya seperti pembatasan penjualan rokok, peringatan pada kemasan, serta kenaikan tarif cukai belum menunjukkan hasil nan signifikan dalam menekan jumlah perokok aktif.
Pemerintah, sambung dia, perlu mempertimbangkan pendekatan kebijakan nan lebih inovatif untuk mengatasi akibat jelek dari tingginya konsumsi rokok. Dalam konteks ini, hasil riset terbaru dari BRIN bisa menjadi opsi solusi, ialah dengan mendorong perokok beranjak ke produk pengganti nan mempunyai akibat kesehatan lebih rendah. (E-4)