Bamsoet Ingatkan Ancaman Ai, Tirani Algoritma, Dan Muslihat Disinformasi

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Dosen Tetap Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur,Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan ancaman terbesar bagi stabilitas sosial Indonesia di era digital. Menurutnya, perihal ini tidak lagi hanya datang dari kerumunan massa di jalan, melainkan juga dari percikan nan meledak di ruang siber.

Dia mengatakan disinformasi berupa unggahan singkat, komentar spontan, dan tagar terkenal nan dirancang dengan support algoritma, kepintaran buatan (AI) dan muslihat disinformasi sekarang terbukti bisa memanipulasi emosi publik dan menggerakkan ribuan orang. Bahkan memicu kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.

"Kalau dulu kerusuhan lahir dari demonstrasi fisik, sekarang cukup dari satu narasi tiruan di bumi maya. Deepfake dan manipulasi visual membikin ketidakejujuran tampak seolah fakta. Inilah wajah baru ancaman nan kita hadapi," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (14/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pengetes internal dalam ujian sidang terbuka disertasi mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Mayjen TNI AD Endro Satoto, dengan titel 'Konstruksi Norma Dalam Upaya Perlindungan Korban Terhadap Siber Global Di Indonesia nan Berkemanfaatan', di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (13/9).

Ketua DPR RI ke-20 ini mencontohkan kasus tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online nan tertabrak kendaraan abdi negara pada tanggal 28 Agustus lalu, menjadi bukti nyata. Video amatir nan direkam penduduk beredar luas hanya dalam hitungan menit.

Reaksi publik mengalir deras, menciptakan gelombang simpati sekaligus kemarahan nan akhirnya menambah tensi dan menaikan eskalasi demonstrasi di lapangan. Data dari LAB 45 ketua Mantan Gubernur Lemhanas, Andi Widjajanto mencatat, sepanjang Oktober 2024 hingga 5 September 2025, terjadi 218 tindakan massa, terdiri dari 156 demonstrasi, 49 amok, dan 13 tindakan anarkis.

Dari total itu, 121 tindakan menargetkan lembaga pemerintah dan akomodasi umum, termasuk perusakan instansi pemerintah, pembakaran hingga penjarahan. Kasus Affan membuktikan bahwa percikan di ruang digital bisa beralih bentuk jadi amuk di bumi nyata. Kondisi ini diperparah dengan
algoritma media sosial nan tidak netral.

Konten nan provokatif diprioritaskan, sementara penjelasan tenggelam. Ditambah dengan muslihat disinformasi dengan kepintaran buatan nan bisa memproduksi konten tiruan dalam jumlah masif, menjadikan ancaman nan bisa mengikis legitimasi negara dan memperdalam distrust masyarakat.

"Hari ini kita hidup dalam era ketika realitas publik bukan lagi dibangun oleh fakta, melainkan oleh algoritma. Algoritma media sosial nan semestinya membantu kita menemukan informasi, justru menjadi muslihat disinformasi dengan memprioritaskan konten nan provokatif lantaran paling banyak menghasilkan klik dan interaksi. Akibatnya, satu video bisa langsung memicu kemarahan massal sebelum kebenarannya sempat diverifikasi," jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, laporan dari Global Disinformation Index (GDI) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap penyebaran hoaks politik. Data Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks nan sukses diidentifikasi, dengan 32 persen diantaranya mengenai rumor politik dan pemilu. Bahkan, survei Katadata Insight Center pada awal 2025 mengungkap 7 dari 10 pengguna internet di Indonesia mengaku kesulitan membedakan mana buletin original dan palsu.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di India, dalam beberapa tahun terakhir, puluhan kasus persekusi dan kekerasan massa dipicu oleh hoaks nan beredar di grup WhatsApp. Di Amerika Serikat, teknologi voice cloning apalagi sudah dipakai untuk menipu perusahaan, dimana bunyi CEO dipalsukan untuk memerintahkan transfer duit sehingga menimbulkan kerugian jutaan dolar. FBI melalui Internet Crime Complaint Center (IC3) mencatat kerugian akibat kejahatan siber, termasuk penipuan berbasis kepintaran buatan, telah mencapai lebih dari USD 10 miliar pada tahun 2023 dan terus meningkat.

"Bayangkan skala risikonya jika semua itu dikombinasikan dengan konteks politik alias rumor identitas nan sensitif. Disinformasi berbasis kepintaran buatan bisa menggerakkan emosi massa dalam sekejap. nan lebih rawan lagi, masyarakat semakin susah membedakan mana fakta, mana rekayasa. Kita menghadapi kejadian nan disebut 'liar's dividend', ketika orang bisa saja menyatakan bukti nyata sebagai tiruan hanya lantaran publik sudah terbiasa mendengar kata deepfake," papar Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH Unpad) ini juga menegaskan, krisis nan dipicu algoritma, kepintaran buatan ataupun disinformasi, tidak bisa dihadapi dengan langkah biasa. Pemerintah dan DPR kudu menyiapkan langkah-langkah luar biasa. Diantaranya, pembuatan izin algoritma. Pemerintah kudu mengatur tanggungjawab platform digital untuk membuka transparansi langkah algoritma bekerja, terutama dalam mengatur konten politik dan keamanan publik. Platform kudu diwajibkan memberi laporan transparansi berkala tentang gimana konten disebarkan dan apa dampaknya pada masyarakat.

Kedua, pembuatan Undang-Undang Keamanan Digital dan Anti-Disinformasi. Undang-undang ini kudu mengatur secara jelas penggunaan kepintaran buatan dalam produksi konten digital. Konten nan dihasilkan kepintaran buatan wajib diberi watermark dan metadata nan tidak bisa dihapus, sehingga masyarakat bisa menilai keaslian informasi.

"Ketiga, penguatan literasi digital dan fact-checking nasional. Pemerintah kudu menggandeng organisasi lokal serta organisasi kampus untuk membangun sistem verifikasi sigap terhadap buletin hoaks. Literasi digital wajib dimasukkan ke kurikulum sekolah dan digalakkan lewat kampanye publik berskala nasional," urai Bamsoet.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, perlu dilakukan revisi UU ITE dan integrasi dengan izin kepintaran buatan. Undang-undang nan ada perlu diperbaharui agar lebih tepat membedakan antara konten original dengan konten manipulatif berbahaya. Regulasi kepintaran buatan juga kudu diintegrasikan agar ada payung norma jelas tentang tanggung jawab produsen teknologi maupun pengguna.

"Teknologi kudu jadi perangkat pemberdayaan, bukan pemecah belah. Karenanya, kita wajib memastikan izin nan dibuat kudu seimbang. Kita tidak boleh membiarkan disinformasi merusak demokrasi, tetapi kita juga tidak boleh menjadikan izin sebagai perangkat membungkam kritik rakyat. nan kita perlukan adalah patokan nan adil, transparan, dan akuntabel," pungkas Bamsoet.

Sebagai informasi, turut datang sebagai pengetes antara lain Promotor Prof. Faisal Santiago; Ko-Promotor Dr. Sulhan; Penguji Internal Prof. Ade Saptomo dan Penguji Eksternal Prof. Ibnu Sina Chandranegara.

(akd/akd)