ARTICLE AD BOX
Jakarta, librosfullgratis.com - Moskow dan London kembali bersitegang setelah Rusia mengusir dua diplomat Inggris dalam eskalasi ketegangan terbaru antara kedua negara.
Pengusiran ini menyusul tuduhan spionase dan tudingan Rusia terhadap Inggris sebagai provokator perang di Ukraina, sementara Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump berupaya menengahi bentrok antara Rusia dan Ukraina.
Ketegangan antara Rusia dan Inggris bukanlah perihal baru. Dalam sejarah, keduanya telah beberapa kali bersitegang, terutama selama dua abad terakhir. Namun, dengan perang nan tetap berkecamuk di Ukraina sejak 2022, hubungan kedua negara memburuk secara signifikan.
"London hari ini, seperti pada malam sebelum Perang Dunia, kembali menjadi ancaman utama bagi Rusia," kata SVR, badan intelijen luar negeri Rusia, dilansir Reuters, Jumat (14/3/2025).
Salah satu pejabat Rusia apalagi menyebut bahwa Inggris telah menjadi kekuatan penghasut utama di antara negara-negara Barat dalam menentang Rusia. Seorang lainnya menyatakan bahwa "Inggris memicu kekacauan dan perang" di Ukraina.
Tak hanya itu, Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, dituduh memimpin langkah-langkah garang terhadap Moskow, terutama setelah berulang kali menyerukan support penuh kepada Ukraina dalam bentrok nan sedang berlangsung.
Sementara itu, Presiden Trump berupaya memperbaiki hubungan dengan Rusia dan mencari jalan tenteram bagi bentrok Rusia-Ukraina, tetapi langkah-langkah London dinilai sebagai penghambat perdamaian.
Perseteruan Panjang Inggris-Rusia
Rusia telah lama mempunyai hubungan nan bergolak dengan Inggris, nan sekarang dipandang sebagai musuh utama oleh Moskow. Menurut pernyataan SVR, Inggris mempunyai sejarah panjang dalam memprovokasi dan memperkeruh situasi di area Eropa.
"London hari ini, seperti pada malam sebelum Perang Dunia, kembali menjadi provokator utama perang dan kekacauan," ujar pihak SVR.
Mereka menuding Inggris telah berkedudukan dalam menggagalkan beragam upaya Trump untuk menengahi bentrok Rusia-Ukraina.
Namun, SVR tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai gimana Inggris bertindak sebelum pecahnya dua perang dunia. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, bentrok ini menjadi nan paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Di tengah upaya Rusia dan Amerika Serikat di bawah Trump untuk mencari jalan damai, London tetap menjadi bunyi paling keras dalam mendesak hukuman terhadap Rusia. Banyak pengamat di Rusia menganggap Inggris sebagai penggerak utama sikap keras Barat terhadap Moskow.
Hubungan nan Makin Memburuk
Situasi politik nan semakin panas terlihat jelas dalam langkah-langkah terbaru nan diambil kedua negara. Inggris telah mengusir sedikitnya 10 diplomat Rusia sejak awal perang, sementara Rusia menuduh seorang diplomat Inggris terlibat dalam tindakan "permusuhan" nan bermaksud untuk merusak hubungan kedua negara.
"Tindakan Inggris betul-betul tidak bisa diterima," kata seorang pejabat senior Rusia. "Mereka berkelakuan seolah-olah bisa mengatur segalanya dan hanya menambah bahan bakar ke dalam api bentrok ini."
Perdana Menteri Keir Starmer juga dikritik oleh tokoh politik Rusia lantaran dianggap mencoba menghalangi upaya rekonsiliasi nan diinisiasi oleh Donald Trump. Rusia menilai bahwa Inggris memainkan peran sebagai "musuh nomor satu" dengan mempengaruhi kebijakan negara-negara Barat dalam mengambil sikap terhadap Moskow.
Sanksi dan Ancaman Balasan dari Rusia
Selain saling mengusir diplomat, ketegangan semakin meningkat setelah keputusan Uni Eropa untuk membekukan aset Rusia.
Ketua parlemen Rusia dan sekutu dekat Putin, Vyacheslav Volodin, menyinggung perlunya Rusia untuk menarik kembali uangnya dari Inggris.
"Inggris sudah meraup banyak untung dari Rusia selama bertahun-tahun. Kini saatnya kita mengambil kembali nan menjadi kewenangan kita," ujar Volodin.
Sementara itu, perdagangan antara kedua negara juga menurun drastis akibat bentrok geopolitik nan berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa personel kedutaan Inggris di Rusia telah berkurang setidaknya 10 orang sejak awal perang, sebagai akibat dari kebijakan tit-for-tat nan saling diambil kedua negara.
Di tengah perseteruan ini, beberapa perusahaan besar Inggris, termasuk perusahaan farmasi seperti AstraZeneca dan GlaxoSmithKline, tetap beraksi di Rusia, meskipun semakin banyak bunyi nan mendesak pembatasan upaya dengan perusahaan asing nan berasal dari negara-negara nan dianggap berbeda oleh Moskow.
Masa Depan Hubungan Inggris-Rusia
Dengan meningkatnya sentimen anti-Inggris di Rusia, banyak pengamat nan mulai bertanya-tanya apakah hubungan antara kedua negara dapat diperbaiki. Retorika nan muncul di televisi negara Rusia belakangan ini semakin menunjukkan bahwa Inggris dianggap sebagai ancaman.
Beberapa komentator apalagi menghidupkan kembali ungkapan lama: "The Englishwoman relieves herself on Russia" nan mencerminkan ketidakpercayaan mendalam terhadap niat London terhadap Moskow.
Sementara itu, ketegangan antara AS dan Uni Eropa juga meningkat setelah pengenaan tarif 25% pada impor baja dan aluminium oleh Washington, nan memicu ancaman "tindakan balasan" dari Uni Eropa terhadap peralatan impor AS senilai 26 miliar euro.
Seorang pejabat Uni Eropa menyatakan bahwa negosiasi dengan AS di tahap ini bakal sia-sia.
"Ini tidak bakal menjadi obrolan nan produktif," ujar pejabat tersebut, menyamakan negosiasi ini dengan "meletakkan ikan busuk di atas meja".
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Trump-Putin Dituduh Bersekongkol Setop Bantuan ke Ukraina
Next Article 'Ancaman' Halus Rusia untuk Trump, Bisa Bernasib Sama seperti JFK