ARTICLE AD BOX
PENANGANAN kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap menemui banyak tantangan dan hambatan. Hal itu juga menjadi catatan mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) nan sudah melangkah 20 tahun.
Salah satu catatan krusial nan dilaporkan oleh Komnas Perempuan adalah pelaporan nan tidak ditindaklanjuti dengan argumen perkawinan korban dengan pelaku tidak dicatatkan. Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menjelaskan, UU PKDRT tidak membedakan perkawinan sah dengan perkawinan nan tidak sah sebagaimana maksud ketentuan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan.
Untuk itu, Komnas Perempuan mendorong agar UU PKDRT diterapkan pada kasus perkawinan tidak dicatatkan. “UU PDKRT telah disahkan sejak 2004, namun pemahaman dan respons penegak norma terhadap laporan wanita korban perkawinan belum tercatat tetap beragam,” ungkap Alimatul dalam aktivitas Peluncuran Kajian Cepat 20 Tahun Implementasi UU PKDRT secara daring, Senin (23/12).
“Belum semuanya merujuk pada UU PKDRT, UU Perkawinan, dan UU Pengasahan Ratifikasi CEDAW. Para abdi negara penegak norma belum selaras dan mempunyai kesepahaman mengenai posisi perkawinan belum tercatat,” jelasnya.
Ia pun mencontohkan praktik baik nan terjadi di Papua di mana beberapa kasus KDRT tanpa akta perkawinan disidangkan dengan UU PKDRT. Karena kebanyakan mereka menikah gereja alias adat, pembuktian dilakukan dengan menghadirkan saksi pendeta alias tokoh budaya nan menikahkan dan family nan menjadi saksi.
Alimatul juga menegaskan, sesungguhnya Pedoman Kejaksaan No 1 Tahun 2021 telah mengatur bahwa bukti perkawinan tidak mengandalkan pada pencatatan perkawinan alias salinannya, melainkan pada bukti-bukti lainnya. “Namun tampaknya patokan ini belum sepenuhnya dipahami oleh kepolisian termasuk putusan-putusan nan mendukung,” ujarnya.
Plt Kasubdit 1 Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri Kombes Pol Rita Wulandari mengatakan penyamaan persepsi perlu dilakukan di antara abdi negara penegak hukum.
“Memang mestinya kami bersama-sama abdi negara penegak norma nan lain menyamakan persepsi gimana kita menyikapi/menangani seorang korban KDRT nan tidak dicatatkan perkawinannya,” kata Rita dalam kesempatan nan sama.
Ia menyebut bahwa interogator pada dasarnya siap menerima pengaduan/laporan dan menerapkan ketentuan apa pun dalam UU PKDRT. “Terkait dengan perkawinan nan tidak dicatatkan, itu ada halangan manakala dari hasil koordinasi belum ada sebuah persamaan persepsi lantaran nan menilai berkas kami adalah dari JPU, kemudian diminta petunjuk nan diberikan adalah adanya perangkat bukti berupa arsip nan menunjukkan perkawinan,” paparnya.
“Kami berambisi dengan adanya Pedoman Kejaksaan No 1 Tahun 2021, ini bisa terfasilitasi klausul ini gimana kita mendapatkan rumusan perangkat bukti apa nan memang bisa dicarikan oleh interogator untuk bisa menerapkan unsur pasal KDRT kepada korban nan tidak dicatatkan perkawinannya,” jelasnya.
Selain perkawinan nan tidak tercatat, Komnas Perempuan juga mencatat tantangan lain dalam penanganan kasus KDRT. Misalnya wanita korban sering kali tidak melapor alias mencabut laporan nan dipengaruhi, misalnya, ketergantungan secara ekonomi, sosial maupun psikis wanita korban pada pelaku.
Kemudian penanganan pelaporan nan berlarut-larut; kriminalisasi korban; korban diarahkan untuk penyelesaian di luar proses hukum; kesiapan agunan perlindungan bagi korban tetap terbatas; prasarana minim nan menghalang akses korban pada support nan dibutuhkan; dan tetap banyak lagi.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani melaporkan, KDRT tetap menempati urutan pertama pengaduan terhadap Komnas Perempuan. Dari 582.780 kejuaraan kekerasan terhadap wanita dalam 23 tahun terakhir, KDRT mendominasi dengan 90%, dan sebanyak 94% merupakan kekerasan terhadap istri (KTI).
“Itu pun tetap kejadian gunung es lantaran kemanapun kami pergi, selalu disampaikan bahwa sebetulnya lebih banyak lagi kasus-kasus nan tidak dilaporkan. Kalau kami menghitung, setiap jamnya, sekurang-kurangnya ada 3 wanita sebagai istri nan menjadi korban kekerasan dari pasangannya,” ungkap Andy. (Z-9)