ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Beberapa dasawarsa lalu, tak banyak mahasiswa nan bisa meraih IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) di atas 3,50 saat wisuda. Mereka ini biasanya dirayakan sebagai bukti kelebihan akademik perseorangan nan langka. Perguruan tinggi nan hanya meluluskan sedikit mahasiswa dengan predikat cum laude juga bakal dianggap berkualitas, berwibawa. Ia dinilai ketat dalam penilaian, menjunjung tinggi standar akademik, dan teguh dalam menjaga kualitas intelektual.
Seiring waktu, IPK lulusan di atas 3,50 bukan lagi perihal luar biasa. Di banyak kampus, kejadian ini sudah dianggap sebagai kelaziman. Fenomena ini mengundang pertanyaan mendasar: apakah mahasiswa kita menjadi semakin cerdas, ataukah standar penilaian nan mulai longgar? Atau barangkali, apakah ada kompromi tak tertulis antara kemauan mahasiswa mendapatkan nilai tinggi dan sejenis tekanan lembaga untuk meningkatkan rata-rata IPK lulusan?
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, pengelompokkan kelulusan berasas IPK sebenarnya cukup jelas. Umumnya, IPK 2,76–3,00 mendapat predikat memuaskan. IPK 3,01–3,50 diberi label sangat memuaskan. Sementara mereka nan sukses mencetak IPK di atas 3,50 berkuasa menyandang gelar dengan pujian, alias nan lebih terkenal sebagai cum laude.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ketika kebanyakan mahasiswa lulus dengan predikat cum laude, kita perlu kembali bertanya: apakah ini mencerminkan keberhasilan sistem pendidikan, ataukah justru menandakan adanya inflasi nilai nan perlahan bakal menggerus marwah perguruan tinggi?
Meninjau ulang
Transkrip nilai sejatinya adalah representasi dari proses panjang pembelajaran nan bisa meliputi kehadiran di ruang kuliah, kontribusi dalam diskusi, keahlian mempresentasikan makalah alias proyek, penyelesaian tugas, kualitas ujian semester, dan sebagainya. Akan tetapi, saat nilai A dan B+ dibagikan seperti selebaran promosi, maka transkrip bakal kehilangan kegunaan utamanya sebagai cermin dari kapabilitas intelektual.
Peninjauan ulang terhadap sistem penilaian menjadi keniscayaan. Apa makna nilai A dalam standar sistem penilaian kampus? Apakah itu berfaedah mahasiswa betul-betul menguasai materi, bisa menerapkannya secara analitis, dan bisa menyampaikan argumen dengan runtut dan logis? Ataukah nilai itu diberikan lantaran mahasiswa aktif bertanya alias sekadar menyelesaikan tugas dengan baik?
Apakah nilai A mencerminkan kedalaman berpikir alias sekadar kepatuhan pada format tugas? Apakah nilai B+ diberikan lantaran kualitas kajian nan kuat tapi tidak lengkap, alias justru lantaran pengajar merasa tidak lezat hati memberi nilai B? Sejauh mana subjektivitas pengajar memengaruhi penilaian?
Apakah mahasiswa diberi umpan kembali nan berarti terhadap pekerjaannya minimal secara lisan, ataukah sekadar sebaran nomor di akhir semester? Apakah rubrik penilaian nan telah disepakati di awal perkuliahan betul-betul digunakan, alias hanya formalitas untuk memenuhi manajemen akreditasi?
Dan nan paling penting: apakah nilai nan diberikan bisa memotivasi mahasiswa untuk tumbuh, alias justru membikin mereka hanya mengejar nomor tanpa memahami makna? Jika nilai tinggi bisa diraih tanpa upaya sungguh-sungguh, apa nan sebenarnya mau kita persiapkan: intelektual kritis alias sekadar lulusan cepat?
Perlu ada iktikad serius dari kalangan pengajar untuk tidak melakukan "sedekah nilai." Bukan lantaran pelit, tetapi lantaran menjunjung objektivitas akademik. Nilai nan diberikan secara lenggang alias atas dasar belas kasih bukan hanya merugikan mahasiswa itu sendiri, tetapi juga mencederai kredibilitas institusi. Kampus, bagaimanapun, adalah tembok penjaga objektivitas dan kejujuran intelektual.
Jika nyaris semua mahasiswa mendapatkan B+ alias apalagi A, maka B+ dan A tidak lagi mempunyai arti. Dan jika predikat cum laude menjadi perihal nan umum, maka status keistimewaannya bakal pudar. Justru, nan kudu menjadi perhatian adalah membangun kembali integritas sistem penilaian akademik, agar nilai bukan sekadar angka, tetapi betul-betul mencerminkan kualitas berpikir dan kompetensi.
IPK bukan penentu
Di tengah kejuaraan kerja nan makin kompleks, IPK bukan lagi agunan utama keberhasilan. Dunia kerja sekarang menuntut lebih dari sekadar kecakapan akademik. Banyak pemberi kerja mensyaratkan keahlian tambahan: keahlian berkata asing, pengalaman magang, kecakapan teknis tertentu, keahlian berkomunikasi, alias kepemimpinan.
Bahkan di ranah beasiswa, IPK di atas 3,25 alias 3,00 sudah dianggap mencukupi untuk memasuki arena kompetisi. Sisanya, berjuntai pada kualitas proposal riset, kejelasan rencana studi, serta keahlian memperoleh Letter of Acceptance (LoA) dari kampus tujuan. Kriteria seperti skor TOEFL, IELTS, alias pengalaman organisasi juga sering menjadi aspek penting.
Hal ini menandakan bahwa IPK telah bergeser dari posisi sentral menuju pelengkap. Ia penting, tetapi sama sekali bukan segalanya. Masyarakat bumi semakin menyadari bahwa kecakapan hidup dan keahlian penyesuaian jauh lebih relevan di era nan penuh ketidakpastian ini.
Ironi muncul ketika banyak perguruan tinggi tetap menggadang-gadang capaian IPK tinggi sebagai parameter keberhasilan institusi. Sementara realita di luar pagar kampus menunjukkan perihal sebaliknya. Menurut info Kementerian Ketenagakerjaan, hingga pertengahan 2025, terdapat lebih dari 1 juta lulusan perguruan tinggi nan belum mendapatkan pekerjaan dari total 7,28 juta pengangguran di Indonesia (detik.com, 2 Juli, 2025). Data ini bukan hanya gambaran krisis ekonomi, tetapi juga krisis relevansi pendidikan tinggi.
Apakah perguruan tinggi kita sudah menyiapkan mahasiswa untuk bumi nyata, alias terlalu berkutat memburu status legalisasi dan memproduksi lulusan ber-IPK tinggi tanpa keahlian nyata?
Keberhasilan akademik
Sudah saatnya perguruan tinggi memaknai ulang parameter keberhasilan akademik. IPK, sebagaimana nomor lainnya, hanyalah alat. Ia tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak bisa berdiri sendiri. nan lebih krusial adalah gimana proses perkuliahan mengasah keterampilan, menajamkan daya nalar, menumbuhkan etika, dan membangun tanggung jawab sosial mahasiswa.
Mahasiswa perlu diberi ruang untuk mengerjakan proyek nan relevan, berbincang dalam kerangka pemikiran nan berbeda, belajar dari praktik nyata di luar kelas, dan menghadapi situasi nan memerlukan pertimbangan etis. Dalam kesempatan seperti itulah pembelajaran menjadi lebih hidup, dan kedewasaan intelektual perlahan bakal tumbuh secara alami.
Perguruan tinggi sewajarnya berdiri sebagai penjaga kualitas intelektual, bukan sekadar pabrik piagam dan penghimpun nilai-nilai tinggi. Peninjauan ulang terhadap sistem penilaian, training pengajar dalam asesmen, hingga upaya mendekatkan kurikulum dengan kebutuhan bumi kerja perlu segera dan terus diupayakan.
Dalam konteks itu, marwah perguruan tinggi tidak ditentukan oleh seberapa banyak lulusan nan berpredikat cum laude, tetapi seberapa banyak lulusan nan bisa menghadapi kompleksitas bumi dengan tangguh, cakap, dan bermartabat.
Muhammad Jauhari Sofi, mengajar Intercultural Communication di UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, mahasiswa doktoral di Utrecht University, Belanda
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini