ARTICLE AD BOX
librosfullgratis.com, Jakarta Pernahkah Anda menonton buletin di TV, lampau keesokan hari cuplikannya muncul di YouTube, Facebook, apalagi di TikTok? Sepintas terlihat biasa, tapi di kembali itu ada kisah pahit: stasiun TV kehilangan triliunan rupiah, wartawan di-PHK, program buletin diperpendek, dan biro wilayah ditutup satu per satu.
Kini, Dewan Pers punya jurus baru: Publishing Rights. Istilahnya keren, para raksasa digital seperti Google, Meta, dan TikTok bakal diwajibkan memberi sejumlah duit pada media TV. Tujuannya agar industri televisi bisa terus bertahan. Apakah bisa? Bagaimana langkah kerjanya? Apakah bisa menyelamatkan industri televisi Indonesia?
Dari Raja Iklan hingga Terpinggirkan – Cerita Sedih TV Nasional
Tahun 2019, televisi tetap jadi raja iklan, mengantongi Rp143 triliun dari total shopping iklan nasional. Lima tahun kemudian, 2024 merosot jadi Rp125 triliun. Sedangkan iklan digital melesat dari Rp13 triliun menjadi Rp55 triliun (data Nielsen). Singkatnya, kue iklan TV makin digerogoti Google, Meta, dan TikTok.
Data menunjukkan, pendapatan gross iklan TV sejak 2021 hingga 2024 menurun nyaris 20%. Dilihat dari nomor laporan finansial emiten TV nan sudah Go Public, Surya Citra Media (SCTV, Indosiar) mencatatkan pendapatan iklan turun sekitar Rp2,6 triliun sejak 2020. MNC Media (RCTI, GTV, Inews) telah tergerus Rp4 triliun lebih. Visi Media Asia (TvOne, ANTV) minus nyaris Rp3 triliun.
Penurunan pendapatan iklan ini membikin stasiun televisi melakukan penghematan alias efisiensi di beragam bagian seperti program, teknik, infrastruktur, sarana prasarana dan juga sumber daya manusia. Durasi program buletin dipangkas, apalagi ada beberapa terpaksa dihilangkan, digantikan infotainment nan berbiaya murah tetapi berbobot ‘jual’.
Biro wilayah sebagai tempat pemberitaan news daerah, banyak nan ditutup. Riset AJI juga menunjukkan 78 persen stasiun TV memangkas program investigasi sejak 2020. Akibatnya, kasus krusial seperti korupsi di wilayah alias bentrok lahan jadi tak terdengar. Informasi publik berkurang, kerakyatan terganggu.
Usulan Dewan Pers: Selamatkan TV Mainstream dengan Publishing Rights!
Menyadari krisis ini, Dewan Pers mengusulkan Publishing Rights ialah kewenangan bagi stasiun TV untuk mendapatkan royalti jika kontennya dipakai platform digital. Google, Meta, TikTok wajib bermusyawarah langsung dengan stasiun TV. Jika tidak ada kesepakatan, maka bisa masuk ke arbitrase. “Platform digital meraup triliunan dari iklan nan melekat pada konten buletin kita. Sepantasnya mereka berbagi,” tegas Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra.
Usulan Pubishing Rights ini disambut baik pemerintah. Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No. 32/2024 pada 20 Februari 2024. Isinya: platform digital wajib mendukung kewartawanan berkualitas. Pemerintah membentuk Komite Publisher Rights nan beranggotakan 11 personil dari Dewan Pers, Kemenkominfo, dan mahir independen. Rencananya bakal ada pemberian hukuman tegas, mulai dari denda hingga pemblokiran sementara bagi platform ‘bandel’.
Google Indonesia menyatakan “akan mempelajari” patokan ini. Meta belum mau komentar, sementara ATVSI menyambut baik kebijakan ini.
Belajar dari Australia: Google & Meta Gelontorkan Rp2 Triliun/Tahun
Australia sudah membuktikan Publishing Rights bisa berjalan. Lewat News Media Bargaining Code (NMBC) sejak 2021. Google sepakat bayar lebih dari AU$150 juta (sekitar Rp1,5 triliun) per tahun ke 70 lebih media. Meta awalnya mogok, apalagi memblokir buletin di FB Australia. Tetapi, akhirnya melunak dan mebayar AU$70 juta (sekitar Rp700 miliar) per tahun.
Google menyetor biaya kolektif untuk media lokal. Hasilnya: ratusan wartawan dipekerjakan kembali, biro wilayah dibuka kembali, dan investigasi korupsi di wilayah makin marak.
Prancis & Kanada, Ada Manis Ada Pahit
Prancis menerapkan perihal serupa, dengan Neighbouring Rights.. Google akhirnya bayar €500 juta (sekitar Rp8,5 triliun) untuk paket lisensi beberapa tahun. Sementara Kanada menerapkan perihal nan mirip dengan Bill C-18. Agak berbeda hasilnya, Google mau mengikuti dan menyetorkan CA$100 juta (sekitar Rp1,1 triliun) per tahun untuk mainstream media. Tetapi Meta malah memblokir seluruh buletin di FB & IG Kanada.
Dari pembelajaran negara lain, ATVSI menilai model negara nan paling relevan ditiru adalah Australia. Di nengara kanguru ini, platform digital diwajibkan melakukan negosiasi langsung dengan media. Jika negosiasi gagal, maka negara bakal turun tangan sebagai wasit.
Bagaimana Uangnya Mengalir ke Kantong Stasiun TV?
Dewan Pers telah merancang prosesnya, misalnya negosiasi langsung. Stasiun TV besar bakal duduk satu meja dengan Google, Meta, TikTok. Lalu diterapkan arbitrase wajib. Jika pertemuan deadlock, BOKMD (Badan Otorita Ketahanan Media Digital- nan bisa diusulkan dibentuk) berkuasa memutuskan berapa nan kudu dibayar. Pembagian setara dirancang. Misalnya 60 persen berdasar jumlah konten dan jangkauan, 30 persen untuk TV wilayah & media independen, 10 persen untuk program investigasi & training wartawan.
Kristof Bagas, GM Social Media Emtek Ex punya pemikiran bagus. Ia mengusulkan lebih baik memperbesar porsi pembagian konten dari platform digital ke media TV. Saat ini Youtube Partnership Program memberikan porsi 55:45 jika konten buletin TV diupload ke YouTube oleh akun resmi TV. Bagas mengusulkan porsi lebih besar, misalnya 75:25 sehingga TV mendapat 75% bagian dari untung konten nan ditayangkan di platform digital. ATVSI juga berambisi perihal nan sama, lantaran merasa belum ada pendapatan signifikan nan didapat TV saat kontennya diunggah ke platform digital.
Tantangan dan Apa nan Harus Kita Lakukan?
Tentu saja, rancangan tidaklah semudah mengganti saluran TV dengan remote control di tangan. Resistensi platform digital terjadi. Meta pernah memblokir buletin di Australia & Kanada. Bisa saja terjadi di Indonesia. Perlu juga dibuat izin teknis nan lebih perincian untuk mendeteksi konten nan dipakai di platform digital
Apa nan bisa kita lakukan? Tentu memberikan support pada konten lokal dengan menonton buletin langsung di aplikasi resmi stasiun TV alias website mereka. Jika menemukan konten buletin TV di kanal YouTube dari bukan akun resmi TV, maka kudu dilaporkan. Dan nan paling penting, suarakan support lewat media sosial agar DPR segera menggodok payung norma lebih kuat.
Publishing Rights bukan tongkat sihir. Tapi, jika desainnya tepat, mempunyai payung norma kuat, arbitrase wajib, dan sistem pengedaran adil, publishing rights bisa jadi napas baru industri TV nasional.
Tanpa itu, kita bakal terus memandang buletin berbobot melalui proses jurnalistik nan baik, bakal tergusur konten murahan, wartawan lokal makin langka, dan info publik terkendali algoritma luar negeri.
Pilihan ada di tangan kita: membiarkan stasiun TV meninggal perlahan, alias beri mereka kesempatan hidup, demi info berbobot dan kerakyatan Indonesia.