ARTICLE AD BOX

PAKAR Hukum Tata Negara dan Kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan partai politik semestinya alim pada konstitusi. Hal itu dia sampaikan mengenai putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Putusan MK dinilai oleh partai politik nan menjadi kreator undang-undang, inkonstitusional lantaran menerbitkan norma baru bukan memberikan penafsiran.
“Alih-alih menyatakan Putusan MK tidak mengikat, lebih baik partai dan pembentuk undang-undang menunjukkan kepatuhan berkonstitusi dan segera menindaklanjuti Putusan MK ini dengan Perubahan UU Pemilu nan kondisinya saat ini sudah kurang kompatibel merespon perkembangan pemilu Indonesia berasas pertimbangan dua kali pemilu serentak pada 2019 dan 2024,” kata Titi kepada Media Indonesia pada Selasa (1/7).
Titi menepis dugaan partai politik bahwa MK nan tak dapat menetapkan norma baru. Menurutnya, MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga nan dapat menafsirkan konstitusi.
“Transformasi MK sudah sejak lama terjadi, misalnya Putusan MK tentang sistem pemilu pada tahun 2009, termasuk juga Putusan soal syarat usia calon di Pilpres nan terang-terangan memosisikan MK bukan sebagai negative legislator. Ternyata semua partai tidak ada satupun memprotes Putusan MK No.90/PUU-XXI/2024 soal syarat usia tersebut. Mestinya partai tidak tebang pilih,” jelasnya.
Titi menegaskan bahwa pembentuk undang-undang (UU) semestinya tidak lagi membenturkan putusan MK dengan patokan lainnya dan segera mengubah UU Pemilu UU No.7 tahun 2017, agar beragam akibat nan timbul dari Putusan MK tersebut bisa diatur dengan baik dan memperhitungkan beragam aspek secara holistik.
“Justru saat ini lebih krusial bagi pembentuk UU, termasuk partai-partai nan ada di dalam parlemen, untuk memikirkan kreasi sistem, manajemen, kelembagaan, dan keadilan pemilu nan kompatibel dengan kreasi keserentakan sebagaimana telah diputus oleh MK,” ujarnya. (H-4)