ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, meminta Komisi III DPR RI mengkaji ulang mengenai jaksa hanya menjadi interogator kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Suparji menilai saat ini kejaksaan tetap diperlukan dalam menyidik tindak pidana korupsi (tipikor).
"Sebaiknya rumusan tersebut dikaji kembali. Karena korupsi tetap menjadi musuh berbareng sehingga perlu banyak daya untuk memberantasnya. Untuk itu interogator kejaksaan tetap sangat diperlukan untuk menyidik tipikor," kata Suparji saat dihubungi, Sabtu (15/3/2025).
Menurutnya, revisi UU KUHAP semestinya dibuat untuk memperkuat investigasi tipikor. Terlebih, kata dia, interogator kejaksaan dalam tipikor telah bekerja secara produktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada sisi lain, interogator kejaksaan dalam tipikor sangat produktif. Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam investigasi tipikor. Bukan mengurangi kewenangan lembaga," jelasnya.
Lebih lanjut, Suparji mengatakan sistem kerja antara interogator dan jaksa tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, interogator dan jaksa kudu bekerja berbareng dalam menegakkan norma pidana.
"Kondisi kerja nan kolaboratif antara interogator dan jaksa inilah nan kudu diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang. Bagaimanapun antara interogator dan jaksa adalah lembaga nan ada dalam satu rumpun eksekutif, nan mana organ kelengkapan didalamnya tidak boleh terkotak-kotak," paparnya.
"Jadi dalam sistem peradilan pidana nantinya nan melakukan kontrol atas kerja interogator dan jaksa adalah Hakim (Pengadilan) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Konsep sistem kerja nan kolaboratif sebenarnyalah nan cocok bagi bangsa Indonesia nan berpaham integralistik, artinya bisa bekerja bersama-sama secara gotong royong," imbuh dia.
Sebagai informasi, kewenangan jaksa dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi sorotan. Dalam RUU tersebut tertulis jaksa hanya menjadi interogator kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Aturan itu tertuang dalam draf RUU KUHAP pasal 6 tentang penyidik. Pasal tersebut menjelaskan kategori penyidik, berikut bunyinya:
Pasal 6
(1) Penyidik terdiri atas:
a. Penyidik Polri;
b. PPNS; dan
c. Penyidik Tertentu.
(2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan interogator utama nan diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
(3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat nan dapat melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan lebih lengkap, dijelaskan beberapa kategori nan termasuk dalam interogator tertentu. Di antaranya interogator KPK, interogator TNI AL nan melakukan penyelidikan sesuai peraturan perundang-undangan, dan interogator jaksa dalam perihal ini melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat.
"Yang dimaksud dengan 'Penyidik Tertentu' adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia angkatan laut nan mempunyai kewenangan melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bagian perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah area ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran kewenangan asasi manusia berat," demikian bunyi penjelasan tersebut.
(amw/idh)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu