Pertemuan Prabowo-mega: Di Antara Keterkaitan Emosional-silaturahmi Kebangsaan

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri akhirnya berjumpa di Jalan Teuku Umar Jakarta Pusat nan merupakan kediaman Megawati (7/4/2025). Konteks pertemuan nan berjalan 1,5 jam tersebut adalah silaturahmi dalam suasana Lebaran dua sahabat lama nan terakhir kali berjumpa langsung di masa pengundian dan penetapan nomor urut Capres dan Cawapres oleh KPU di bulan November 2023. Artinya penyematan diksi nan paling tepat dalam mendeskripsikan pertemuan antara Prabowo dan Megawati adalah silaturahmi kebangsaan nan jauh melampaui narasi pertemuan untuk sekadar kepentingan politik dalam agenda kekuasaan.

Secara historis family Prabowo dan family Megawati punya keterikatan emosional dalam membangun Indonesia. Kakek Prabowo, Margono Djojohadikoesoemo dan ayah Megawati, Sukarno mempunyai sejarah kerjasama ketika Indonesia baru merdeka ialah dalam pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Sementara ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan di masa kepresiden Sukarno. Juga pada satu dua kesempatan, Prabowo dalam pidatonya selalu bangga mengaku di masa kecilnya pernah digendong dan ditimang oleh Sukarno ketika sedang dirinya diajak berjamu ke Istana Negara.

Keterikatan emosional itu kemudian diwariskan pada generasi berikutnya ialah antara Prabowo dan Megawati. Hal itu dimulai ketika Megawati berbareng Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjamin kepulangan Prabowo ke Indonesia dari Yordania di tahun 2001. Posisi Megawati kala itu adalah Wakil Presiden RI nan meminta suaminya Taufik Kiemas untuk menjemput serta memastikan Prabowo mendapatkan haknya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kondisi nan lebih strategis, keterikatan emosional antara keduanya menguat ketika Prabowo dan Partai Gerindra datang dalam menyelamatkan wajah Megawati dan PDI Perjuangan jelang Pilpres 2009. Kala itu Megawati terancam tidak bisa maju sebagai capres lantaran terhalang presidential threshold nan mana syarat utamanya nan kudu dipenuhi menjadi pasangan capres dan cawapres paling sedikit 20 persen bunyi nasional dan 25 persen bangku di DPR RI.

Situasinya partai-partai sudah dalam finalisasi pembentukan koalisi. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono telah menghimpun koalisi ialah Partai Demokrat (20,85 persen), PKB (4,94 persen), PAN (6,01 persen), PKS (7,88) dan beberapa partai politik non parlemen nan persentase mencapai 56,60 persen. Sementara pasangan lainnya ialah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto melalui koalisi Partai Golkar (14,45 persen), Partai Hanura (3,77 persen) dan beberapa partai non parlemen telah mengumpulkan support 21,95 persen nan juga memenuhi syarat maju sebagai capres dan cawapres.Sementara PDI Perjuangan (14,03 persen) tetap dalam kegamangan lantaran belum memenuhi syarat secara elektoral untuk mengusulkan kandidat nan dimajukan sebagai capres dan cawapres. Pada situasi krisis ini, Partai Gerindra (4,46 persen) dan beberapa partai non parlemen akhirnya berasosiasi berbareng PDI Perjuangan hingga terkumpul support 21,42 persen bunyi nasional sehingga Megawati bisa maju menjadi capres di Pilpres 2009. Kala itu nan dimajukan koalisi PDI Perjuangan dan Partai Gerindra adalah pasangan Megawati-Prabowo (Mega-Pro).

Meskipun pasangan Megawati-Prabowo akhirnya kalah di Pilpres 2009, namun kedekatan kedua tokoh ini terus berlanjut. Kerjasama politik antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dalam kemenangan fenomenal Jokowi-Ahok adalah buah manis keterikatan antara Prabowo dan Megawati. Tidak hanya itu, komitmen antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra untuk berada di luar pemerintahan selama kepemimpinan SBY-Boediono di tahun 2009-2014 menjadi kenangan tersendiri gimana kedua tokoh ini tumbuh dan berkembang berbareng masing-masing dalam membangun institusionalisasi kepartaian.

Buktinya meskipun akhirnya memilih jalan berbeda di Pemilu 2014, baik Partai Gerindra dan PDI Perjuangan adalah dua partai nan mengalami kenaikan bunyi dan bangku nan sangat signifikan. Pasca berpisah jalan secara politik selama periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di tahun 2014-2019, relasi antara Megawati dan Prabowo tetap terjaga secara emosional. Walau intensitas pertemuan tidak rutin terjadi namun praktis tidak pernah ada gesekan individual antara Megawati dan Prabowo. Situasi kemudian membaik pasca Pilpres 2019, tepat ketika Prabowo dan Partai Gerindra berasosiasi ke pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Tidak terlihat sedikitpun resistensi dari Megawati terhadap Prabowo nan menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Juga sebaliknya, ketika saat ini Prabowo menduduki posisi orang nomor satu di Indonesia nyaris tidak ada satu variabel nan bisa memisahkan keterikatan individual di antara keduanya.

Silaturahmi Kebangsaan

Pertemuan antara Prabowo dan Megawati berada pada level konseptual dalam berbangsa dan bernegara untuk tujuan pembangunan nasional, strategi jangka panjang, dan menginspirasi masyarakat. Artinya ini tidak sekadar pembahasan pembagian bangku di kabinet alias pembangunan koalisi dalam kerangka elektoral lantaran penyelenggaraan Pilkada telah selesai. Tentu pada tingkatan nan lebih tinggi pertemuan Prabowo-Megawati adalah bentuk silaturahmi kebangsaan dalam upaya menyelesaikan banyak persoalan di Indonesia saat ini.

Utamanya dalam menghadapi tantangan dunia di bagian ekonomi, sosial, dan geopolitik. Tidak hanya itu, pengalaman nan dimiliki Megawati dalam menghadapi pelbagai krisis ketika menjabat sebagai Presiden RI tentu menjadi masukan krusial bagi pemerintahan Prabowo. Selain itu support dari Megawati dan PDI Perjuangan terhadap pemerintahan Prabowo juga menjadi satu perihal nan tidak kalah penting.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) catatan krusial mengenai krisis nan sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pertama, kondisi ekonomi nasional sebagai akibat dunia tidak dalam keadaan baik, seperti; nilai rupiah atas dolar saat ini sudah menyentuh Rp.17.000-an, tarif impor Trump 32 persen dari Amerika Serikat ke Indonesia dan kondisi IHSG sedang negatif. Kedua, Ketidakstabilan sosial melalui banyaknya demonstrasi pasca pelbagai kebijakan non- populis pemerintah dan pembahasan beberapa RUU. Ketiga, tantangan dalam geopolitik utamanya dalam menciptakan keseimbangan dunia pasca Indonesia berasosiasi ke golongan ekonomi BRISC serta kesiapan Indonesia ketika terdapat potensi tekanan dari barat dan gimana menjaga keseimbangan hubungan luar negeri dalam penguatan diplomasi multilateral.

Disisi lain dalam kebijakan nasional, Pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini juga sedang konsentrasi menggalakkan program-program prioritas, misalnya; program Makan Bergizi Gratis (MBG), Danantara, program cek kesehatan cuma-cuma dan pembangunan sekolah rakyat nan juga memerlukan support politik dari banyak pihak di DPR.

Memang silaturahmi kebangsaan di antara Prabowo-Megawati tidak secara otomatis bisa menyelesaikan beragam persoalan di negeri ini. Satu catatan krusial dari silaturahmi tersebut melahirkan angan berbareng dan support psikologis bahwa Indonesia siap menghadapi potensi terburuk jika terjadi krisis ekonomi global. Tidak hanya itu, pada program prioritas pemerintah nan sedang melangkah otomatis melahirkan optimisme dari rakyat lantaran terciptanya persatuan nasional melalui keakraban para pemimpin dalam tujuan kesejahteraan rakyat.

Sugiat Santoso, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Gerindra.

(eva/eva)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini