Presiden Muslim Ini Mau Ketemu Netanyahu, Normalisasi Dengan Israel?

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, librosfullgratis.com - Sebuah kabar mengindikasikan adanya kemungkinan pertemuan langsung antara Presiden sementara Suriah, Ahmed Al Sharaa, dan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu. Hal ini terjadi saat kedua negara masih dalam status perang selama lebih dari tujuh dekade.

Kemungkinan pertemuan, nan dilaporkan TMJ News, Selasa (1/7/2025), terjadi setelah Al Sharaa secara mengejutkan memberikan sinyal kesediaan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Meskipun perihal ini dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.

"Saya mau memperjelas. Era saling bom-membom tanpa henti kudu berakhir. Tidak ada bangsa nan bisa makmur ketika langitnya dipenuhi ketakutan. Realitasnya adalah, kita mempunyai musuh bersama, dan kita dapat memainkan peran besar dalam keamanan regional," kata Al Sharaa.

"Perdamaian kudu didapatkan melalui rasa saling menghormati, bukan ketakutan."

Laporan intelijen dan diplomatik menyebut bahwa Uni Emirat Arab (UEA) diduga memainkan peran kunci sebagai mediator dalam pembicaraan tidak langsung antara kedua belah pihak. Reuters melaporkan pada Mei 2025 bahwa UEA telah membangun jalur komunikasi rahasia antara Israel dan Suriah nan berfokus pada masalah keamanan dan intelijen serta pembangunan kepercayaan.

Sumber nan familiar dengan masalah tersebut menyatakan bahwa upaya ini dimulai beberapa hari setelah kunjungan Ahmed al-Sharaa ke UEA pada 13 April 2025. Dari sisi Israel, Menteri Luar Negeri Gideon Saar pada 30 Juni 2025 menyatakan bahwa Israel "tertarik" untuk mencapai kesepakatan "perdamaian dan normalisasi hubungan" dengan Suriah dan Lebanon seraya menegaskan posisi Tel Aviv pada Dataran Tinggi Golan.

"Israel tertarik untuk memperluas lingkaran perdamaian dan normalisasi Abraham Accords. Namun, Dataran Tinggi Golan bakal tetap menjadi bagian dari Negara Israel dalam perjanjian tenteram apapun," ujarnya.

Hubungan antara Suriah dan Israel telah membeku sejak pembentukan Israel pada tahun 1948. Kedua negara terlibat dalam serangkaian bentrok bersenjata, termasuk Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973.

Tanpa jalur diplomatik resmi, komunikasi antara Damaskus dan Tel Aviv selama ini nyaris tidak ada. Kecuali, melalui pihak ketiga alias saluran rahasia.

Isu Dataran Tinggi Golan nan diduduki Israel sejak 1967 menjadi ganjalan utama dalam setiap upaya normalisasi. Suriah secara konsisten menuntut pengembalian penuh wilayah tersebut, sementara Israel menegaskan kepemilikannya atas argumen keamanan strategis.

Namun, dinamika di Suriah telah berubah drastis menyusul perang kerabat nan panjang. Kejatuhan rezim Bashar Al Assad pada Desember 2024 dan naiknya Ahmed Al Sharaa sebagai presiden sementara pada 29 Januari 2025, telah membuka koridor baru.

Al Sharaa, nan sekarang berupaya membangun legitimasi internasional dan menstabilkan negaranya, telah membikin pernyataan nan baik mengenai Israel. Meski demikian, jalan menuju normalisasi penuh tetap panjang dan berliku. Tuntutan Suriah untuk pengembalian Dataran Tinggi Golan tetap menjadi batu sandungan terbesar.

"Pemerintah Suriah tidak bakal menerima solusi alias perjanjian apa pun nan tidak sepenuhnya mengembalikan Golan ke kedaulatan Suriah dan menjamin penarikan Israel ke garis 4 Juni 1967," ujar analis politik Zaidoun al-Zoubi kepada The New Arab.


(tps/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Video: Israel Serang Gudang Senjata Rezim Assad di Tartous Suriah