ARTICLE AD BOX
Jakarta -
PDIP merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan menghapus periode pemisah alias Presidential Threshold (PT) minimal 20% bangku DPR alias memperoleh 25% bunyi sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengusulkan rekayasa konstitusional dapat dilakukan melalui sistem kerja sama alias koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Mulanya, Said menyampaikan partainya alim atas putusan MK tersebut. Said menyinggung pertimbangan putusan MK memerintahkan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa politik mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden.
"Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, karena putusan MK berkarakter final dan mengikat," ujar Said kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam pertimbangan putusan MK di atas, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam perihal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur dalam undang-undang agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah nan terlalu banyak nan berpotensi merusak prinsip pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, namun tetap memperhatikan hal-hal," kata dia.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR ini menyebut pencalonan presiden dan wakil presiden dapat tetap dilakukan campuran partai politik tanpa menciptakan dominasi. Hal ini, kata dia, turut melibatkan partai politik non-parlemen sebagaimana diperintahkan MK.
"Seperti, semua parpol boleh berkuasa mengusulkan capres dan cawapres dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada persentase bangku DPR alias bunyi sah nasional, namun pengusulan pasangan capres dan cawapres itu dapat dilakukan campuran partai dengan catatan tidak menyebabkan kekuasaan partai alias campuran partai nan menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres. Dan membikin perekayasaan konstitusional tersebut, MK memerintahkan agar kreator undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik nan tidak mempunyai bangku di DPR. Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami bakal menjadikannya sebagai pedoman kelak dalam pembahasan revisi undang undang pemilu antara pemerintah dan DPR," katanya.
Said berpendapat, perlu ada sistem kerja sama parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden untuk memperkuat support politik parpol di DPR nantinya. Menurutnya, perihal ini dapat diatur tanpa mengurangi kewenangan setiap parpol dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.
"Semangat kami di DPR saat pembahasan pasal 222 dalam UU Pemilu adalah untuk memperkuat support politik nan kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Sebab dengan support DPR nan kuat, maka agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dapat melangkah dengan lancar lantaran support DPR nan kuat," ujar Said.
"Dengan lahirnya putusan MK ini, maka kami bakal menggunakan sistem perekayasaan konstitusional nan diperintahkan oleh MK melalui sistem kerja sama alias koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan mengatur sistem kerja sama partai, dengan tanpa mengurangi kewenangan setiap partai untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap bakal mempunyai support politik nan kuat di DPR," lanjut dia.
Selain itu, Said mengusulkan rekayasa konstitusional dengan memperketat syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Syarat kualifikasi presiden itu, kata dia, dapat diuji oleh lembaga negara alias perwakilan tokoh masyarakat.
"Perekayasaan konstitusional nan diperintahkan oleh MK dalam pertimbangan putusannya juga dapat kami lakukan dengan mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden agar memenuhi aspek kepemimpinan, pengalamannya dalam peran publik, pengetahuannya tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritasnya, agar penggunaan kewenangan dari semua partai untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden memenuhi aspek nan berkarakter kualitatif nan kami maksudkan tersebut. Pengujian syarat aspek-aspek nan berkarakter kualitatif terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden dapat dilakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga lembaga negara, dan perwakilan tokoh masyarakat sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU," pungkasnya.
Putusan MK
Diketahui, putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo mengenai perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," kata Suhartoyo.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.
(fca/dnu)