ARTICLE AD BOX

KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) secara resmi meluncurkan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (Kemendikdasmen, 27/12/2024). Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat itu adalah bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, doyan belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Kebiasaan-kebiasaan itu tampaknya mudah diinternalisasikan dan sangat sederhana. Namun, kita semua mengerti selalu ada kompleksitas ketika kita berhadapan dengan hal-hal nan sederhana.
Jika menelaah kebijakan pendidikan mengenai dengan karakter anak-anak, sesungguhnya kita tampak tetap gamang mengenai anak-anak Indonesia seperti apa nan mau dibangun? Coba telaah saja dalam rentang 15 tahun terakhir. Kita mengenal 18 Nilai Pembentukan Karakter Bangsa (2011), pengembangan aktivitas Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) (2017), dan 6 Profil Pelajar Pancasila. Dan, sekarang kita dihadirkan dengan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Apakah semua karakter nan coba diinternalisasikan itu baik?
Anak-anak hari ini tumbuh di tengah hadirnya beragam perangkat digital dan komunikasi nan membikin mereka dapat menggapai apa pun dengan sekali klik. Tantangan itu datang begitu nyata dalam ruang aktual anak-anak. Untuk disiplin bangun lebih pagi saja bukan perkara mudah. Anak-anak kita saat ini condong untuk tidur lebih larut karena ada banyak intermezo nan disediakan di internet, baik berupa games alias media sosial.
Di luar sisi tersebut, tugas-tugas nan diberikan sekolah juga menuntut mereka kudu tidur lebih malam. Jika rumah tidak memberi batas dalam penggunaan beragam intermezo dan tidak memberi perhatian pada pola pengerjaan tugas, sudah pasti anak bakal bablas tidur larut apalagi sampai bergadang.
Beribadah dan berolahraga merupakan penguatan bentuk dan jiwa nan sifatnya praktikal. Pembiasaan ini tumbuh dari pola hidup nan memperhatikan aspek material dan spiritual. Ada teladan dari orang-orang dewasa di sekitar anak nan menjadikan dua aktivitas ini menjadi sesuatu nan ringan dilaksanakan, dan memang sangat dibutuhkan sebagai asupan raga dan jiwa.
Untuk mengimbangi kebutuhan bentuk dan jiwa ini juga diperlukan rehat nan memadai. Anak-anak dari golongan nan marginal, waktunya justru tersita untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Seperti nan disampaikan dalam syair lagu karya Iwan Fals: ‘Anak sekecil itu berantem dengan waktu, demi satu angan nan kerap usik tidurmu’. Kelelahan menjadi perihal nan kudu dihadapi mereka dalam kehidupan keseharian nan keras.
Makan sehat dan bergizi bisa menjadi perihal biasa dalam hari-hari family nan memadai secara ekonomi. Tapi, tidak semua anak Indonesia merasakan nikmatnya makan bergizi. Tahun 2022, ketika saya terlibat riset nan dilakukan oleh Pusat Kurikulum Kemendikbudristek di Papua Barat dan Papua, kebanyakan anak tidak sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Kondisi tersebut terjadi lantaran ragam alasan, termasuk kondisi ekonomi family nan tidak memadai. Realitas nan sama mudah ditemukan di anak-anak marginal nan tinggal di perkotaan. Salah seorang kawan pembimbing pernah bercerita, sesekali dia memberikan anak-anak didiknya sedikit duit jajan agar mereka bisa membeli makanan.
Gemar belajar bisa jadi menjadi budaya anak-anak nan orangtua dan gurunya telaten menemani anak-anak belajar, dengan buku-buku, sumber belajar, dan perangkat nan memadai. Namun, ada juga situasi nan menjadikan anak-anak mempunyai keterbatasan karena gurunya tidak datang di kelas alias orangtuanya tak dapat mendampingi karena kudu bekerja keras memenuhi kebutuhan ekonomi. Pembiasaan belajar tidak otomatis tumbuh secara personal, tetapi memerlukan support dari orang-orang dewasa di sekitar anak-anak dan pengetahuan memadai dalam mendampingi mereka.
Tantangan bersosialisasi dengan teman-teman alias masyarakat sekitar menjadi perihal nan menjadi perhatian. Anak-anak nan disibukkan dengan perlombaan di bagian akademik (sekolah) semakin mempunyai waktu nan terbatas bersosialisasi dengan masyarakat di rumah tempat mereka tinggal. Dalam konteks tertentu, letak tinggal anak dengan sekolah dan tugas-tugas sekolah nan menggunung menyebabkan ruang sosialisasi dengan masyarakat semakin terbatasi. Tidak hanya anak-anak, relasi keseharian orang dewasa nan kudu bekerja ekstra juga jauh dari rumah menyebabkan mereka pun kesulitan berinteraksi dengan tetangga-tetangga di rumah.
Memperhatikan kondisi-kondisi tersebut, sudah sangat benderang sungguh persoalan pembangunan karakter anak Indonesia memang bukan perkara nan mudah untuk diinternalisasikan. Dan, sudah tentu membangun 7 kebiasaan tersebut memerlukan program-program nan yang tertata dan terarah, tidak bisa hanya digaungkan melalui pesan normatif dalam ceramah-ceramah kepala sekolah alias pembimbing semata. Dengan demikian, implementasinya sangat memerlukan kerja sama orangtua, guru, dan masyarakat. Kebiasaan tersebut datang di tiga ruang pendidikan, ialah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara (2013), pendidikan memang mempunyai peran memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti. Fokus penguatannya, menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah melalui pengajaran, teladan, dan pembiasaan. Upaya tersebut kudu dikuatkan agar anak-anak dapat ocehan mengatur hidupnya dengan tertib. Upaya-upaya nan dilakukan oleh pemerintah tentu dengan angan datang generasi nan dapat ocehan mengatur hidupnya. Namun, tentu saja ada beragam perkara menantang dalam menginternalisasikan beragam karakter maupun kebiasaan nan menjadi rujukan.
Yang perlu diperhatikan, upaya menginternalisasikan karakter-karakter itu tidak hanya memberikan beban individual kepada anak-anak. Tujuh kebiasaan tersebut bukan saja perkara individual anak, tetapi juga adaptasi nan memerlukan kekokohan struktur di tiga ruang pendidikan tersebut.
Oleh karena itu, pertama, titik awal nan paling krusial adalah perbincangan di antara tiga ruang pendidikan--sesuatu nan menjadi titik perhatian dari Ki Hadjar Dewantara--harus dioptimalkan. Kedua, dari perbincangan tersebut perlu dirumuskan apa saja nan menjadi turunan aktivitas dari 7 kebiasaan unggul dan siapa nan bertanggung jawab mengawal dalam kehidupan keseharian.
Ketiga, mengutip James Clear (2018), agar kebiasaan datang secara otomatis maka perlu ada pengulangan-pengulangan dan untuk membikin perihal tersebut terlihat nyata perlu ada ‘petunjuk, tanggapan, ganjaran’ nan disepakati oleh seluruh pihak. Jika tidak ada upaya menerapkan di ranah praktik dan mengevaluasinya, niscaya hanya bakal menuai kegagalan.