ARTICLE AD BOX
Jakarta, librosfullgratis.com - Pengusaha logistik menilai tarif Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) nan dikelola PT Cibitung Tanjung Priok Port Tollways terlalu mahal serta tidak sesuai dengan kondisi industri saat ini. Padahal keberadaan tol ini dianggap strategis lantaran menjadi jalur utama logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Cibitung maupun sebaliknya.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyebut tarif tol tersebut justru membebani pelaku upaya dan mendorong truk logistik beranjak ke jalan arteri.
"Situasi ekonomi sekarang sulit. Pertumbuhan ekonomi apalagi tak sampai 5%. Kami sudah lama usulkan agar pemerintah mulai koreksi biaya logistik, salah satunya tarif tol," kata Mahendra kepada librosfullgratis.com, Kamis (31/7/2025).
Ia menjelaskan, tarif tol berkontribusi besar pada biaya transportasi logistik. Mahalnya tarif untuk kendaraan golongan 3, 4, dan 5, nan digunakan pikulan barang, dinilai tidak adil.
"Dulu tol dibangun dengan pertimbangan volume logistik. Tapi saat sudah jadi, justru logistik dikenai tarif paling mahal. Ini tidak sesuai," ujarnya.
Menurut dia, tarif tol untuk logistik semestinya menjadi nan paling murah agar tidak membebani nilai produk di konsumen. Ia pun mencontohkan, tarif tol Jakarta-Surabaya mencapai Rp1,5 juta sekali jalan, alias Rp3 juta untuk pulang-pergi, dari total tarif angkut sekitar Rp15 juta.
"Artinya, biaya tol sendiri bisa menyumbang 20% dari tarif. Ini terlalu tinggi," tegasnya.
Untuk Tol Cibitung-Cilincing, Mahendra menyebut tarif kendaraan logistik mencapai di atas Rp100 ribu, apalagi golongan 5 bisa menembus Rp130 ribu.
"Kami setuju JTCC dibangun untuk memperlancar logistik. Tapi jika tarifnya tinggi, bebannya jatuh ke pelaku transportasi," ujar dia.
Ia mengatakan, banyak truk logistik sekarang lebih memilih jalan arteri untuk menghindari tol mahal.
"Kami tetap kudu jalan, tapi pengguna kami, ialah industri, tidak mau menanggung selisih tarif itu. Jadi kami lewat jalan biasa," katanya.
Mahendra menyebut rute pengganti nan biasa digunakan antara lain keluar dari Bekasi Barat, lampau masuk melalui Pondok Ungu dan keluar di Cakung Barat, alias lewat Cawang dan Jalan D.I Pandjaitan menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Ia juga menilai waktu tempuh melalui tol tidak memberikan efisiensi signifikan. "Perbedaan waktu antara lewat tol dan tidak hanya sekitar 8-10 jam untuk truk besar. Untuk kebutuhan logistik, selisih itu tidak cukup berfaedah untuk bayar biaya tambahan," jelas Mahendra.
Terkait solusi, Mahendra menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan subsidi alias skema tarif khusus. "Kalau operator tol tidak bisa menurunkan tarif lantaran kudu bayar utang, ya pilihannya tarif tetap, tapi tidak ada nan lewat. Apa bisa bayar utang? Enggak," ujarnya.
"Kalau tarif diturunkan, lampau semua truk diarahkan lewat situ, bakal lebih ramai, ada pemasukan, dan bisa tetap bayar utang. Lebih baik murah tapi ramai, daripada mahal tapi kosong," imbuh dia.
Pernyataan senada juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Djohan. Ia menjelaskan bahwa Tol Cibitung-Cilincing memang dibangun sebagai akses pengganti menuju Pelabuhan Tanjung Priok dari area industri di timur Jakarta seperti Cileungsi, Cibitung, Cikarang, dan Karawang. Tujuannya untuk mengurangi kepadatan di Tol Jakarta-Cikampek, Tol Lingkar Luar Cikunir, dan Tol Dalam Kota arah Tanjung Priok.
Namun, dia mengakui biaya investasi pembangunan JTCC cukup tinggi lantaran dibangun di atas lahan dengan nilai nan besar. Hal ini menjadi penyebab tarif tol JTCC lebih mahal dibanding tol-tol lainnya.
"Sehingga penggunaan akses tol Cibitung-Cilincing menjadi bukan sebagai akses utama bagi pikulan peralatan jika mempertimbangkan biaya tarifnya," ujar Djohan dihubungi terpisah.
Menurut Akbar, dalam praktiknya, pengemudi truk sering diberi kebebasan untuk mengatur rute dengan duit operasional nan diserahkan langsung oleh pemilik usaha.
"Seringkali driver lebih memilih jalur lintas jalan nan lebih irit pengeluaran biaya, untuk jadi tambahan duit saku driver sendiri," jelasnya.
Sementara itu, dari sisi pengusaha angkutan, prioritas tetap pada keselamatan, ketepatan waktu pengiriman, dan efisiensi bahan bakar. Oleh lantaran itu, pengelolaan rute perjalanan ke alias dari pelabuhan kerap dikendalikan oleh pengemudi itu sendiri.
"Driver bakal prioritaskan ambil jalur lintas jalan termurah, namun tetap bisa in timely manner (tepat waktu) tiba di tujuan," ucap Akbar.
Sebelumnya, Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Sugi Purnoto juga menyampaikan perihal serupa. Ia menyebut tarif JTCC lebih mahal hingga 50% dibanding tol lain seperti Jakarta-Cikampek dan jalan arteri.
"Tarif tinggi membikin pengusaha logistik memilih rute lain. Potensi JTCC untuk efisiensi jadi berkurang," kata Sugi, Jumat (6/12/2024).
Sugi mendorong pertimbangan tarif JTCC agar lebih kompetitif. "Kalau tarif bisa turun 60% alias setara dengan tol JORR 2, minat pelaku logistik bakal meningkat. Ini bisa meningkatkan pendapatan tol itu sendiri," ujarnya.
Menurut Sugi, efisiensi logistik bisa meningkat hingga 50% jika tarif tol kompetitif.
"Penurunan waktu tempuh, biaya operasional, dan akibat kecelakaan adalah akibat langsung nan bisa dirasakan pelaku usaha," tandasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Video: Diskon Tarif Tol 20% Mudik Lebaran Berlaku Mulai Hari Ini