Etika Mengelola Lingkungan

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Etika Mengelola Lingkungan (MI/Seno)

PESAN keberlanjutan sumber daya alam termasuk pulau mini bukan tiba tiba datang ke dalam menu pembangunan kita. Sejak 14 abad nan lalu, apalagi jauh sebelumnya, sebelum hadirnya pendapat SDG (Sustainable Development Goal).

Dalam Islam, jika disimak secara saksama, sebenarnya sudah diingatkan sejak pembuatan manusia. Era Nabi Adam, pesan berkepanjangan dijelaskan melalui pesan kepada anak-anaknya agar berpikir sebelum bertindak. Makna pesan ini adalah sebelum melakukan sesuatu, milikilah ilmunya, ketahui mudaratnya dan manfaatnya. Sampai kemudian masa Nabi Muhammad SAW, tertuang rambu-rambu nan jelas bagi manusia untuk senantiasa memperhatikan keberlanjutan alam nan dapat diikuti sampai kini.

Salah satu narasi keberlanjutan dijelaskan dalam Surat Al-Mulk (15) bahwa kepada manusia bumi dijadikan untuk dimanfaatkan. Kemudian jelajahilah penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. Banyak tafsir menyebutkan, sebagian rezkinya bisa berarti sebagai rezeki nan diterima langsung oleh manusia secara personal. Tafsir lain kalimat tersebut dapat berarti sebagai rezeki nan Allah tebarkan di bumi pada eranya manusia. Konsep nan mudah dipahami dan jelas bahwa segala sesuatu nan ada di bumi untuk dimanfaatkan dengan batas nan jelas.

Makna dengan mengambil setengahnya merupakan batas agar generasi mendatang dapat menikmati rezeki nan ada sekarang. Selain itu, juga termaktub makna agar ada sumber daya nan disisakan sehingga bisa kembali pulih dan mendukung keberlanjutan hidup manusia. Pulih menuju recovery atau resilience guna mengimbangi kemauan manusia nan tidak terbatas.

Kalau diperhatikan dengan saksama, kenapa Allah membikin batas untuk manusia. Setidaknya dalam pandangan awam penulis ada beberapa pelajaran nan dapat kita ambil. Pertama, manusia merupakan makhluk nan punya kebiasaan merusak. Kedua, manusia termasuk makhluk nan suka berlebih-lebihan dan melampaui pemisah termasuk dalam memanfaatkan sumber daya. Ketiga, manusia mempunyai sifat nan tidak pernah puas dan serakah dalam urusan dunia. Keempat, manusia sebagai pribadi nan sering alpa dan larut dalam kemewahan serta ditutupi kebodohan.

FAKTA EMPIRIS

Kalau kita memandang beberapa kebenaran kerusakan nan terjadi di daratan dan lautan, menurut FWI (2024) selama 2017-2021 luas rimba turun rata-rata 2,4 juta hektare (ha) per tahun. Area rimba terbuka lantaran pertambangan emas, batu bara, nikel, bauksit terus meluas. Kejadian banjir bandang, kerusakan pesisir lantaran tambang terjadi di beragam wilayah Indonesia. Penambangan di Pulau Gag, Pulau Wawoni, Pulau Gebe, Pulau Bangka-Belitung menampilkan sifat-sifat ketidakcukupan mengambil sumber daya alam oleh manusia.

Luasan ekosistem mangrove juga turun dan tersisa 1,7 juta ha dari sebelumnya 3,4 juta ha nan terdata. Terumbu karang nan sehat tersisa hanya 32% dari luasan terumbu nan kita punyai. Begitu juga jumlah ikan tangkapan tereksploitasi nan sudah mencapai lebih dari 50% sediaan stok ikan. Lalu, biodiversity mengalami penurunan lantaran lenyap dan punah baik didarat maupun di laut.

Sikap berlebihan dalam mengambil dan memanfaatkan sumber daya juga terlihat nyata di laut. Sumber daya ikan sebagian sudah berada pada kondisi overfishing. Praktik pengavelingan laut juga terjadi hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi. Selain itu, sikap mengambil kekayaan rakyat secara berlebih dalam corak korupsi menjadi menu harian nan menghiasi tembok buletin negeri ini.

Jurang kemiskinan terus menganga, di mana orang sangat kaya dapat berpenghasilan lebih 400 miliar per bulan, orang kaya dapat berpenghasilan di atas Rp10 juta per bulan, dan orang miskin Rp599 ribu per bulan. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah masyarakat miskin mencapai 25 juta jiwa (9,3%) dan masyarakat kaya sekitar 10 juta jiwa dengan penghasilan di atas Rp23 juta per bulan.

Sikap tidak pernah puas tecermin dari banyak style baru dalam okupasi aset negara. Praktik pagar laut, pengalihan aset negara terjadi atas nama investasi. Lebih parahnya aset diokupasi, kerusakan tercecer untuk masyarakat. Sikap tidak puas ini kemudian berbahaya, nan melahirkan korupsi, invasi ekonomi, serta sikap tidak peduli dan lenyap empati sesama anak bangsa.

Seiring dengan itu, upaya pemberantasan kegoblokan tidak dilakukan serius. Data Goodstat (2024) mencatat 23,3% dari 284 masyarakat tidak/belum sekolah. Masyarakat nan tolol kemudian jadi komoditas politik dan sering dipolitisasi terutama saat pemilu. Membiarkan masyarakat terjebak dalam kebodohan, selain menyebabkan negara makin lemah, juga menyebabkan sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin rusak.

Al-Quran menjelaskan dalam Surat An-Nisa’ (9): "Hendaklah merasa takut orang-orang nan seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan nan lemah (yang) mereka cemas terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata nan betul (dalam perihal menjaga hak-hak keturunannya)."

ALARM ALAM

Alarm keberlanjutan sudah sangat jelas dan kudu dijadikan rambu-rambu serta perhatian bagi manusia. Manusia diingatkan untuk menjadi makhluk nan bersyukur, berpikir agar tidak larut dalam kegoblokan dan kemiskinan, serta tidak melampaui pemisah sebagai standar etika menjaga lingkungan.

Bersyukur lantaran kita ada di negara kaya sumber daya alam, kaya biodiversity, dan kaya sociodiversity. Namun, kekayaan juga dapat melahirkan kesombongan, menimbulkan kemungkaran. Sombong lantaran merasa kaya dapat melahirkan kemalasan, dan mungkar dapat melahirkan kerusakan. Pesan agar menjadi orang berpikir juga dijelaskan secara tegas. Negara kaya dengan masyarakat nan tolol dan miskin bisa berisiko terhadap keberlanjutan bangsa.

Potensi bingkisan demografi bisa berubah menjadi musibah demografi. Berpikir menetapkan nilai pemisah nan keahlian alam nan diterjemahkan sebagai daya dukung. Dengan proses begini kita kemudian tidak bakal memproduksi nikel, timah, pasir laut dalam jumlah nan melampaui batas. Memproduksi dalam pemisah untuk pemenuhan kebutuhan kita, bukan orang lain. Memproduksi sumber daya alam kita untuk orang lain, sama seperti menabur garam ke laut, nan tidak bakal berakibat terhadap kita sendiri.

Mundur, duduk, dan menadaburi apa nan diberikan Tuhan dan menghitung nan bakal digunakan lebih baik daripada terus maju mengeksploitasi sumber daya tersebut nan tidak terlihat titik ujungnya. Mengatur kembali tempo waktu pemanfaatan lebih baik daripada sekadar mengejar pertumbuhan semata tanpa etika nan baik terhadap lingkungan.