Masihkah Buku Menjadi Jendela Dunia?

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Pada era digital sekarang ini, apakah quote "buku adalah jendela dunia" bisa diganti dengan podcast adalah jendela dunia, YouTube adalah jendela dunia, alias barangkali TikTok adalah jendela dunia?

Pertanyaan itu terlintas dalam pikiran saya pada suatu Minggu pagi ketika menjumpai perdebatan netizen di platform Threads. Di satu pihak beranggapan bahwa membaca buku, apalagi kitab cetak, pada era sekarang tidak lagi relevan. Sementara di pihak lain beranggapan sebaliknya.

Perkembangan teknologi digital memang menyediakan ruang info dan pengetahuan nan semakin luas. Informasi dan pengetahuan bisa didapatkan dengan lebih mudah melalui aktivitas mendengarkan podcast, menonton YouTube, TikTok, dan media digital lain. Namun, apakah perihal itu berfaedah dapat menggeser eksistensi aktivitas membaca kitab sepenuhnya?


Kredibilitas vs Viralitas

Kutipan "buku adalah jendela dunia" dapat dimaknai bahwa kitab adalah medium berkumpulnya pengetahuan. Pengetahuan berisikan penjelasan mengenai dunia. Dengan demikian, semakin banyak kitab nan dibaca oleh seseorang, maka bakal semakin banyak pula penjelasan mengenai bumi nan dia dapatkan.

Pemaknaan tersebut tidak berlebihan andaikan kita menilik proses hadirnya sebuah buku. Sebelum menelurkan sebuah buku, si penulis perlu terlebih dulu membikin rancangan dan mengumpulkan beragam sumber. Berbagai sumber tersebut dianalisis, diinterpretasikan, dan disintesiskan. Tak cukup sampai di situ, draf tulisan pun perlu ditinjau ulang dan di edit sana-sini sebelum akhirnya diterbitkan.

Proses panjang hadirnya kitab sekaligus memberikan agunan kedalaman pengetahuan. Di dalam buku, pemaparan dan pembahasan suatu topik lebih terstruktur dan komprehensif. Terlebih lagi jika penulisnya adalah seorang pakar. Hal tersebut menjadikan kitab sebagai sumber rujukan pengetahuan nan kredibel.

Kredibilitas pengetahuan itulah nan susah untuk didapat andaikan kita hanya mengandalkan pengetahuan dari rimba digital. Kita perlu ingat bahwa pedoman dari rimba digital adalah viralitas. Mana nan lebih viral, itulah nan mendominasi publik.

Lonceng peringatan ancaman perlu dibunyikan. Basis viralitas dalam rimba digital memungkinkan siapa pun menanggapi persoalan apa pun. Seseorang dapat lebih mendengarkan influencer dan konten pembuat daripada master sehingga terjadi bias pengetahuan. Akibatnya, seperti titel bukunya Tom Nichols ialah The Death of Expertise (Matinya Kepakaran).

Sebagai contoh adalah rumor tentang kesehatan mental. Penelitian Wijaya dkk (2024) mengenai kejadian self diagnose mengungkapkan bahwa konten-konten kesehatan mental di TikTok mempengaruhi pemikiran seseorang terhadap kesehatan mental dirinya apalagi orang lain. Mereka terdorong untuk melakukan self diagnose. Positifnya, mereka dapat mengetahui lebih awal kondisi kesehatan mentalnya. Negatifnya, perihal tersebut berpotensi menghalangi seseorang untuk meminta support ahli lantaran telah merasa tahu kondisi mentalnya, membeli obat-obatan tanpa resep, dan salah diagnosis.

Selain viralitas, rimba digital juga mengandalkan kecepatan. Iming-iming kecepatan inilah nan justru menjadi jebakan. Seolah-olah menawarkan efisiensi padahal sebenarnya menyodorkan kedangkalan info dan pengetahuan. Sebagai contoh adalah maraknya konten-konten video pendek. Melalui medium semacam itu info dan pengetahuan rentan terfragmentasi. Akibatnya, info maupun pengetahuan nan diperoleh hanya sepintas belaka.


Kembali ke Buku

Secanggih apa pun teknologi digital menyediakan akses info dan pengetahuan, kita tetap perlu kembali ke buku. Sebagaimana pernyataan Karlina Supelli, seorang filsuf dan astronom Indonesia. Dalam sebuah wawancara dia menyatakan bahwa membaca kitab tidak tergantikan lantaran kerja otak hanya bisa dilatih menjadi tajam kala otak itu berdialog.

Aktivitas membaca kitab melibatkan hubungan otak dengan teks. Pada saat membaca otak terlibat untuk mencerna dan memahami kalimat demi kalimat. Hal ini dapat memperkaya perbendaharaan kata dan melatih otak untuk terbiasa dengan alur berpikir nan terstruktur. Alhasil juga mempengaruhi keahlian kita untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.

Membaca kitab juga dapat melatih imajinasi. Imajinasi krusial apalagi sejak anak-anak lantaran menjadi dasar daya kreatif. Selain itu, berasas penelitian Hattarina dkk (2020) anak-anak nan terbiasa membaca kitab keahlian berpikir kritisnya lebih terasah daripada anak-anak nan hanya terlibat aktivitas menonton.

Saya tidak hendak menyatakan bahwa info dan pengetahuan di rimba digital adalah sampah. Kemudahan nan disodorkan tetap perlu kita manfaatkan. Namun, beragam faedah dari aktivitas membaca kitab sangat sayang jika dilewatkan begitu saja.

Argumen nan menyatakan bahwa membaca kitab tidak lagi relevan adalah argumen nan dangkal. Terlalu sigap untuk menarik konklusi bahwa kitab telah menjadi peralatan kuno. Padahal, pada masa sekarang kitab juga tersedia secara digital (e-book). Hal ini justru memperluas ruang kita untuk tetap menjalankan aktivitas membaca buku.

Membaca kitab tetap relevan sebagai penyeimbang info dan pengetahuan nan kita dapatkan dari platform digital lain. Kedalaman dan kestrukturan pengetahuan di dalamnya dapat menjadi sarana untuk verifikasi lebih lanjut. Tujuannya agar tidak terjadi bias pengetahuan. Hemat saya, begitu naif andaikan kita menganggap bahwa aktivitas membaca kitab tidak lagi relevan di era sekarang. Buku telah membersamai peradaban kita selama berabad-abad. Bahkan telah menjadi simbol peradaban itu sendiri.

Buku adalah jendela dunia. Kutipan itu bakal senantiasa bergaung hingga di masa depan.

Femas Anggit Wahyu Nugroho pembaca buku

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu