ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan nan diajukan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengenai pembentukan panitia seleksi (pansel) calon ketua KPK dan majelis pengawas (dewas). MK menilai dalil Pemohon tidak berasalan menurut hukum.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan 160/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Dalam pertimbangannya, MK menilai bakal terjadi kekosongan kedudukan KPK dan Dewas, jika proses seleksi tersebut dikaitkan dengan waktu pelantikan Presiden dan DPR. MK menyatakan pelantikan ketua KPK dan Dewas pun tidak bakal bisa dilaksanakan tepat 20 Desember 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika proses seleksi nan di dalamnya terdapat proses pengajuan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden dalam periode nan sama dengan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK, maka proses seleksi baru bakal dimulai setelah tanggal 20 Oktober 2024," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.
"Dengan sekuens waktu sebagaimana diuraikan di atas, dalam pemisah penalaran nan wajar, panitia seleksi tidak bakal menghasilkan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK nan bisa dilantik pada sekitar pertengahan Desember 2024. Jika logika Pemohon tersebut diikuti, dapat dipastikan bakal terjadi kekosongan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK dalam beberapa waktu," sambungnya.
Saldi menyampaikan jika permohonan Boyamin dikabulkan maka itu bakal menimbulkan pemaknaan nan sempit terhadap penerapan pasal 30 ayat 1 dan 2 UU KPK. Kata dia, patokan itu menjadi susah dan apalagi tidak dapat diterapkan secara adaptif.
"Oleh lantaran itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK adalah telah cukup jelas sehingga tidak perlu diberikan pemaknaan lain berkenaan dengan Presiden alias pemerintah nan mana nan berkuasa menerapkan norma a quo," ujarnya.
"Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan norma di atas, menurut Mahkamah telah rupanya kata 'Presiden' dalam Pasal 30 ayat (1) dan kata 'pemerintah' dalam Pasal 30 ayat (2) UU KPK adalah tidak bertentangan dengan prinsip negara norma dan tidak bertentangan dengan kewenangan atas kepastian norma nan setara sebagaimana dinyatakan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana nan didalikan Pemohon," imbuhnya.
Sebelumnya, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengusulkan permohonan judicial review mengenai panitia seleksi (pansel) calon ketua dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). MAKI menilai pembentukan pansel capim dan cadewas KPK merupakan kewenangan Presiden Prabowo Subianto.
Pengajuan judicial review itu dilayangkan Koordinator MAKI Boyamin Saiman ke MK, Selasa (5/11/2024). Boyamin mengatakan pembentukan pansel capim dan cadewas KPK menjadi kewenangan Presiden periode 2024-2029, ialah Prabowo Subianto. Dasarnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.
"Sebagaimana surat tanda terima, hari ini saya Boyamin telah mendaftarkan permohonan uji materi alias gugatan judicial review untuk memaknai Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana di sana mengatur presiden menyerahkan hasil pansel kepada DPR," kata Boyamin.
"Nah, ini saya memaknai siapa presiden gitu. Nah jika jenis saya, presidennya adalah Presiden Prabowo dan ketika Pak Jokowi membentuk pansel dan menyerahkan kepada DPR, itu tidak sah alias tidak berkuasa lagi, lantaran apa berasas Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112 nan dimohonkan Pak Nurul Ghufron itu kan presiden hanya memilih sekali," sambungnya.
(amw/dnu)