Natalius Pigai Nilai Presidential Threshold 20% Langgar Ham

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyinggung periode pemisah pencalonan presiden alias presidential threshold. Menurutnya presidential threshold 20% melanggar HAM.

Hal tersebut disampaikan oleh Natalius saat memberikan kuliah umum di salah satu universitas di Kota Medan, Jumat (14/3/2025). Awalnya, Natalius menyampaikan soal kewenangan politik.

"Hak kedua adalah kewenangan politik, kewenangan politik itu berangkaian dengan hubungan kerakyatan dan HAM. Ada empat pilar kerakyatan nan kudu dijaga dalam konteks kewenangan politik," kata Natalius dilansir detikSumut, Sabtu (15/3/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Natalius beranggapan negara nan terhormat adalah negara nan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk memimpin suatu wilayah. Dia menyebut presidential threshold 20% melanggar ham lantaran membatasi seseorang.

"Negara nan terhormat adalah nan memberikan orang-orang nan dahsyat untuk mengelola alias memimpin pemerintahan dan politik. Karena itu, jika 20 persen presidential threshold, dahsyat kah itu? melanggar HAM iya, melanggar HAM lantaran menyisihkan hanya sekelompok orang nan berkompetisi untuk memimpin sebuah wilayah, negara, provinsi, kabupaten dan kota. Oleh lantaran itulah, setiap perseorangan untuk berkhidmat kepada negara adalah mempunyai kewenangan mutlak," ujarnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus periode pemisah alias presidential threshold minimal 20 persen bangku DPR alias memperoleh 25 persen bunyi sah nasional di pemilu sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

MK membacakan putusan tersebut di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut. Putusan itu dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat," kata Suhartoyo, seperti dikutip dati detikNews.

Baca selengkapnya di sini.

(dek/dek)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu