ARTICLE AD BOX

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk menunda penerapan patokan tentang pembagian biaya alias co-payment dalam produk asuransi kesehatan. Aturan itu sedianya sudah tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Regulasi tersebu mewajibkan sistem co-payment sebesar minimal 10% dari total klaim, dengan pemisah maksimal Rp300 ribu untuk jasa rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Penundaan tersebut merupakan hasil kesepakatan dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dan OJK pada Senin, (30/6).
"Dalam konklusi ini, OJK menunda penyelenggaraan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan," ujar Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun nan memimpin jalannya rapat tersebut.
Dia menjelaskan pembayaran co-payment 10% dari total klaim ditunda hingga ketentuan tersebut disahkan melalui Peraturan OJK (POJK). Pemerintah tetap mempunyai waktu hingga 1 Januari 2026 untuk merampungkan proses pengesahan tersebut sebelum resmi diberlakukan.
"Kita menganggap waktu nan tersedia cukup untuk melakukan konsolidasi dari sisi kebijakan," tambah Misbakhun.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menekankan Komisi XI DPR RI menjalankan meaningful participation dengan menyerap beragam aspirasi dari pemangku kepentingan sebelum patokan diterapkan secara penuh.
Sementara, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menjelaskan latar belakang diterbitkannya kebijakan tersebut. Menurutnya, patokan co-payment diperlukan lantaran kapabilitas industri asuransi di Indonesia saat ini tetap terbatas dalam memberikan perlindungan secara menyeluruh.
Mahendra memaparkan aset perusahaan asuransi di Indonesia hanya setara 5,1% dari produk domestik bruto (PDB), tertinggal jauh dari rata-rata negara ASEAN nan berada di kisaran 15%. Singapura apalagi mencatatkan nomor nyaris 70% dari PDB. Tingkat penetrasi asuransi di Indonesia juga tetap rendah, dengan rasio total premi terhadap PDB tetap di bawah 3%. Sebagai pembanding, rata-rata negara ASEAN berada pada 3–5%, dan Singapura telah melampaui nomor 10%.
“Berkaitan dengan itu, kami memandang kualitas dan cakupan perlindungan dari akibat kesehatan nan diberikan industri asuransi tetap sangat terbatas,” ujar Mahendra.
Dia menambahkan, studi regional menunjukkan adanya kesenjangan perlindungan (protection gap) di area Asia Pasifik, termasuk Indonesia, nan nilainya ditaksir mencapai US$886 miliar pada 2022. Kesenjangan ini menunjukkan banyaknya akibat kesehatan, termasuk musibah alam, penyakit kritis, dan lainnya nan belum sepenuhnya terlindungi.
Indonesia juga dihadapkan pada tantangan inflasi medis nan semakin meningkat. Pada 2023, inflasi sektor kesehatan tercatat nyaris tiga kali lipat dari inflasi umum, dan diperkirakan bakal mencapai 13,6% pada 2025. Kondisi ini dinilai menakut-nakuti keberlanjutan penyelenggaraan jasa asuransi kesehatan.
Berdasarkan kondisi tersebut, OJK menerbitkan SE Nomor 7 Tahun 2025 sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan industri asuransi. Namun demikian, Mahendra menegaskan bahwa patokan ini hanya bertindak untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak mencakup program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) nan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. (E-3)