ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) nan dicanangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran secara resmi telah dibahas dalam perencanaan anggaran 2025 dengan menetapkan besaran anggaran pada tahap pertama sebesar Rp 71 triliun, nan bakal difokuskan pada pelajar SD-SMP-SMA kategori kuintil 1 dan 2 di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia.
Berdasarkan arsip Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, rencana penerapan program MBG ini sebagai berikut: (1) Target penerima MBG mencakup 82 juta orang, terdiri dari 44 juta anak usia sekolah, 4 juta santri, 30 juta balita, dan 4 juta ibu hamil, (2) Sebanyak 44 juta anak usia sekolah nan berguru di 439.000 sekolah, nan perlu dilayani oleh 48.000 dapur/unit pelayanan, dan (3) MBG memerlukan karbohidrat setara 1,9 juta ton beras, protein setara 5,6 juta ton daging serta telur ayam, 3,3 juta ton buah, dan 1,8 juta ton sayuran per tahun.
Ada empat perihal krusial nan mesti disiapkan pemerintah dalam konteks capaian sasaran itu. Pertama, mengoptimalkan peran aktif pemerintah lokal dalam perspektif optimasi kegunaan desentralisasi untuk kesiapan pangan sebagai aspek utama program MBG. Kedua, optimasi peran sekolah, kelembagaan, dan kemitraan. Ketiga, perlunya kerjasama trans-disiplin di tingkat lokal-nasional. Keempat, keterlibatan perguruan tinggi lokal melalui penerapan iptek.
Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
Dalam konteks optimasi kegunaan desentralisasi, pemerintah wilayah semestinya wajib mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal dan sumber daya manusia untuk membangun kesiapan pangan lokal nan memadai dan berbobot secara sistematis, paling minimal dapat memenuhi kebutuhan lokal untuk mendukung program MBG. Inisiasi ini bukan saja secara makro bisa menciptakan ketahanan pangan melainkan berefek dobel pada sistem sirkulasi ekonomi nan positif di tingkat lokal.
Dalam konteks itu, beberapa nan kudu dilakukan pemerintah lokal; (1) Meningkatkan produktivitas pangan melalui training dan penyuluhan, akses mudah pada penyediaan peralatan dan sumberdaya, serta diversifikasi pertanian, (2) Pengelolaan sumber daya alam nan berkepanjangan melalui konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam lokal nan ada di daerah, (3) Peningkatan prasarana dan sistem pengedaran pangan; irigasi, jalan, dan lain sebagainya, (4) Pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan, (5) Pemantauan dan pengawasan pangan, (6) Pemanfaatan teknologi dan inovasi, (7) Membangun sistem kemitraan antardaerah dan swasta, dan (8) Edukasi dan kampanye ketahanan pangan.
Kedelapan poin tersebut pada dasarnya telah dilakukan pemerintah namun tidak serius dan terkesan asal-asalan sehingga pengembangan pertanian lokal justru melangkah ditempat dan sebaliknya tidak produktif. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) 2022, terdapat 74 kabupaten/kota dengan rincian 70 kabupaten (16,83%) dari 416 kabupaten, 4 kota (4%) dari 98 kota masuk dalam kategori IKP rendah. Sementara IKP Provinsi menunjukkan terdapat dua provinsi (5,88%) ialah Papua dan Papua Barat masuk dalam IKP rendah, masing-masing sebesar 37,80 dan 45,92, di mana Wilayah Indonesia bagian timur secara umum mempunyai nilai IKP lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia bagian barat.
Penyebab rendahnya nilai IKP antara lain produksi pangan wilayah lebih mini dibanding kebutuhan (kurang), prevalensi balita stunting tinggi, akses air bersih terbatas, dan tingginya persentase masyarakat hidup miskin. Data ini menunjukkan bahwa sesungguhnya wilayah belum cukup bisa menyediakan sumber pangan untuk mendukung program MBG.
Terkait optimasi peran sekolah, kelembagaan dan kemitraan, barangkali aspek krusial kudu dipikirkan dipikirkan Prabowo-Gibran dalam merancang kebijakan program MBG di lembaga pendidikan lokal nan ada di wilayah (SD, SMP, SMA, pesantren); (1) Program MBG ini tidak terintegrasi sebagai bagian dari kurikulum nan ada di sekolah, (2) Jaminan kesiapan dan kebutuhan nutrisi makanan/pangan mesti memenuhi kualitas gizi dengan standar kesehatan, (3) Variasi makanan kesiapan pangan nan berbeda-beda, dan (4) Pengadaan dan pengedaran pangan dengan karakter budaya dan aksesibilitas nan berbeda.
Merujuk pada empat poin itu maka tidak mungkin sekolah dan/atau lembaga pendidikan lokal di wilayah bisa merancang program MBG secara berdikari sehingga dibutuhkan satu sistem kelembagaan dan kemitraan nan kuat nan kudu dibangun, misalnya dengan bekerja sama memaksimalkan peran lembaga-lembaga lokal seperti BUMDes, UMKM, alias LSM nan konsentrasi kepada rumor terkait.
Prabowo-Gibran barangkali bisa belajar dari India sebagai case study nan positif. Di India, Program makan bergizi di sekolah dikenal sebagai program Mid-Day Meal (MDM), dilatarbelakangi oleh kekurangan gizi pada jenjang anak sekolah. Pemerintah India kemudian meluncurkan program makan siang cuma-cuma pada 1995 untuk meningkatkan kehadiran sekolah dan bermaksud mengurangi kelaparan, di mana program ini mencakup 125 juta anak di sekolah negeri serta sekolah support pemerintah.
Program ini menyantap biaya sekitar US$ 2,8 miliar di mana studi WFP PBB menunjukkan bahwa dari setiap US$ 1 nan digunakan untuk program makan siang di sekolah Makan Siang dapat mendongkrak akibat ekonomi sebesar US$ 9. Anggaran US$ 1 ini digunakan untuk pengadaan bahan baku makanan, jalur logistik dan penyimpanan, serta penguatan komoditas makanan. Terkait pendanaan, program ini diatur oleh Undang-Undang Ketahanan Pangan dengan skema pembiayaan dibagi antara pemerintah pusat dan negara bagian dengan rasio 60:40.
Program di India itu melibatkan kerja sama antar kementerian dan lembaga swadaya masyarakat diantaranya Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Pertanian. LSM berkedudukan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan meningkatkan efektivitas pengedaran makanan. Sebanyak 30 persen pengadaan makanan kudu disuplai dari golongan tani lokal guna mendukung ekonomi lokal dan memastikan keberagaman gizi. Setiap LSM mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing guna mengimplementasikan program nan lebih efektif dan menjangkau lebih banyak anak-anak di seluruh negeri.
Dalam konteks penerapan penyaluran, India menyalurkan Program Mid-Day Meal Scheme melalui beberapa langkah terstruktur, yaitu: (1) Makanan disiapkan di dapur umum alias dapur sekolah nan ditunjuk berasas pemfokusannya pada penggunaan bahan lokal, (2) Setelah makanan dimasak, makanan tersebut diangkut ke sekolah menggunakan kendaraan nan sesuai guna memastikan makanan tetap dalam kondisi baik hingga sampai ke siswa, dan (3) Di setiap sekolah, pembimbing dan staf bertanggung jawab untuk menyajikan makanan kepada siswa agar memastikan semua anak menerima porsi nan cukup.
Selanjutnya dalam konteks kerjasama trans-disiplin di tingkat lokal-nasional, dibutuhkan untuk mengkaji dan menganalisis beragam multi-aspek nan mempengaruhi program MBG dalam konteks mikro dan makro. Di India misalnya, Program Mid-Day Meal Scheme melibatkan mahir gizi dalam perencanaan menu untuk memastikan bahwa makanan tidak hanya kondusif tetapi juga bergizi dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi anak-anak. Untuk memudahkan kerja-kerja kerjasama trans-disiplin perlu dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) dari tingkat nasional-lokal, nan masing-masing bertanggung jawab pada satuan wilayah kerja masing-masing.
Dalam perspektif optimasi kegunaan desentralisasi, wilayah kabupaten berasas potensi dan karakteristiknya mestinya diberi kewenangan unik dan seluas-luasnya menyusun strategi penguatan program MBG melalui Pokja Kabupaten di bawah tanggung jawab bupati di mana pokja ini kudu berjenjang sampai pada tingkat kecamatan/desa. Dalam konteks itu, maka pemerintah juga mesti menyediakan biaya unik dan/atau anggaran untuk operasional kerja-kerja pokja. Tentunya mereka nan terlibat dalam kerja-kerja pokja ini adalah mereka nan mengarusutamakan jiwa patriotik, ikhlas, dan sukarela.
Sementara optimasi peran perguruan tinggi lokal dalam mendukung program MBG dilakukan melalui penerapan iptek, dengan pendekatan Tridharma, ialah pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Ini bukan saja mengenai upaya penyediaan pangan dalam perihal jumlah dan kualitas melainkan pentingnya penerapan penemuan teknologi untuk memajukan pembangunan dan pengembangan pertanian lokal nan berkelanjutan.
Peran krusial dan strategis perguruan tinggi dalam pengembangan pertanian lokal melalui lintas pengetahuan pengetahuan di antaranya mengenai dengan: (1) Riset komoditas unggulan lokal untuk pengembangan, (2) Manajemen pertanian terpadu berbasis komoditas lokal; pengenalan pertanian terpadu dalam proses perencanaan, pengelolaan dan penggunaan lahan, (3) Manajemen pengelolaan potensi limbah lokal; pengelolaan limbah menjadi pupuk organik untuk pertanian berkelanjutan, (4) Pengendalian (benih)penyakit terpadu; pengendalian (benih)penyakit dan penyakit pada tanaman dalam menjaga produktivitas pertanian, dan (5) Manajemen panen dan pasca panen; manajemen pengelolaan panen dan pascapanen, mulai dari pemetikan, pembersihan, sortir, dan grading.
Dalam konteks program MBG, perguruan tinggi lokal mesti dituntut untuk berkecimpung mendukung pembangunan pertanian khususnya kemandirian pangan dan daya berbasis pangan, dengan segala tantangan dan persoalan nan dihadapinya. Paling minimal ada 3 perihal nan dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi untuk melaksanakan politik pangan nan berbasis pada kedaulatan dan kemandirian, yaitu; (1) Mengembangkan aspek kesiapan manusia melalui pendidikan formal, (2) Mengembangkan iptek dan konsep pengganti kebijakan pembangunan melalui aktivitas penelitian, (3) Mengembangkan pemberdayaan masyarakat melalui diseminasi inovasi, pendidikan non umum dan corak pengabdian pada masyarakat.
Perguruan tinggi wajib terlibat lantaran urgensi program MBG bukan saja bagian dari pencegahan stunting melainkan membangun kembali kedaulatan pangan paling menimal adalah mewujudkan swasembada pangan nan digalakkan oleh Prabowo-Gibran pada 2025.
Rekomendasi
Tantangan program MBG bukan saja mengenai dengan agunan kesiapan pangan melainkan pengedaran logistik untuk membagikan makanan kepada 82 juta anak di beragam wilayah Indonesia dengan aksesibilitas dan kondisi topografi nan berbeda. Dalam konteks itu, perihal terpenting mesti dilakukan adalah membangun kekuatan pangan berbasis lokal melalui optimasi kegunaan desentralisasi. Pemerintah provinsi dan khususnya kabupaten kudu diberi peran aktif untuk menciptakan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing, sehingga kesiapan pangan bukan saja bisa menjawab permintaan dan kemudahan pengedaran untuk kebutuhan program MBG melainkan secara simultan mendukung upaya swasembada pangan nasional.
Sejauh ini peran wilayah tidak kelihatan, apalagi seolah mereka tidak peduli atas program ini. Dengan memberikan keleluasaan, tanggung jawab, dan peran aktif pada mereka, tidak saja memudahkan capaian tujuan melainkan bakal memberi faedah ekonomi berganda pada masyarakat lokal termasuk menghidupkan UMKM lokal, BUMDes, dan organisasi mengenai nan bisa dilibatkan.
Beberapa rekomendasi krusial nan diusulkan; pertama, perlu kiranya diberikan kewenangan penuh pada pemerintah lokal melalui pendekatan optimasi kegunaan desentralisasi. Pemerintah provinsi/kabupaten perlu merancang program MBG secara berbareng untuk membangun kesiapan dan ketahanan pangan lokal secara optimal dan berkelanjutan, nan secara simultan mendukung pembuatan ketahanan pangan nasional. India telah memberikan contoh nyata bahwa program makan bergizi nan dilakukan dengan mengoptimalkan kegunaan pemerintah lokal berakibat pada peningkatan produksi pangan lokal, peningkatan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan petani.
Kedua, kerjasama dan kerja sama kemitraan antarlembaga lintas sektoral lokal-nasional perlu dilakukan secara serius. Di India, peran-peran LSM seperti Akshaya Patra Foundation, Nandi Organization, dan Annamrita memberi kontribusi positif dalam mengimplementasikan program makan cuma-cuma nan lebih efektif dan efisien nan menjangkau lebih banyak anak-anak di seluruh negeri.
Ketiga, kerjasama obrolan trans-disiplin mesti dilakukan untuk memudahkan penerapan program MBG. Para ilmuwan, profesor/guru besar/akademisi (perguruan tinggi), swasta, pelaku upaya dari beragam disiplin pengetahuan dan pengalaman kudu dilibatkan dalam pokja-pokja nasional, regional, dan lokal untuk memberi rekomendasi mengenai penerapan program MBG nan optimal dan berkelanjutan.
Keempat, dalam memberdayakan potensi lokal, pemerintah mesti membikin payung norma nan jelas dan terukur sebagai perangkat operasional lembaga-lembaga lokal termasuk pemerintah wilayah nan terlibat dan berkontribusi pada program ini. Dengan demikian masing-masing lembaga bergerak berdasar pada norma dan berpegang teguh pada prinsip good governance.
La Ode Muhammad Rabiali mahasiswa Program Doktor di IPB University, pendiri Yayasan KARST Indonesia; aktif dalam bagian kehutanan, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat desa
(mmu/mmu)