Penambahan Kewenangan Dalam Ruu Kejaksaan Dinilai Tidak Efisien

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Penambahan Kewenangan dalam RUU Kejaksaan Dinilai tidak Efisien Ilusrasi(MI/Ramdani)

REVISI Undang-Undang Kejaksaan menuai polemik di masyarakat. Penambahan kewenangan jaksa dalam RUU tersebut dinilai membikin alur pengusutan perkara semakin rumit.

"Tidak bakal menjadikan alur perkara menjadi efisien. Justru bakal sama saja, bakal terjadi bolak-balik koordinasi, biaya lebih, dan lain-lain. Tapi sebaliknya, kewenangan Kejaksaan justru bakal menjadi tidak terbatas dan tidak bisa diawasi," kata Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi dalam keterangan nan diterima, Jumat (14/3).

Awan menyoroti asas dominus litis terhadap jaksa nan diperkuat melalui RUU tersebut. Menurutnya, asas itu menuntut pemisahan kegunaan investigasi dan penuntutan.

Menurutnya, proses norma dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan, nan secara konsep terpisah satu sama lain oleh lembaga tertentu, sehingga sistem menciptakan kontrol satu sama lain. 

"Bila paradigmanya kejaksaan nan melakukan prosesnya dari awal hingga akhir di penuntutan, perihal ini menyalahi prinsip proses norma nan fair," ujarnya. 

Untuk itu, Awan menegaskan adanya sejumlah pasal bermasalah di dalam RUU Kejaksaan. Misalnya, kewenangan penegakan norma nan semestinya ada di polisi dalam proses investigasi dan jaksa di Penuntutan. Namun, kata dia, dalam revisi UU kejaksaan ini jaksa bakal menjadi pengamanan kebijakan penegakan norma (Pasal Pasal 30 ayat 3B) dan adanya Kewenangan baru adalah membentuk Badan pemulihan aset (pasal 30A). 

"Seharusnya kewenangan kejaksaan hanya berkutat di Penuntutan, tidak lebih," ujarnya. 

Tak hanya Pasal 30A, poin keseluruhan dalam mata beleid itu dipersoalkan. Sebab, menjadikan lembaga kejaksaan sangat powerful.

"Ditambah lagi kewenangan keimunan nan diberikan kepada jaksa menyalahi dan tidak sesuai dengan prinsip equality before the law," kata Awan. (P-4)