Ruu Tni: Perkuat Pertahanan Negara Atau Buka Kembali Dwifungsi Abri?

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Poin paling kontroversial dalam RUU TNI adalah usulan perubahan Pasal 47, nan memungkinkan penempatan prajurit aktif di beragam kementerian dan lembaga negara, termasuk nan berangkaian dengan politik dan keamanan. Jumlah lembaga nan dapat diisi prajurit aktif bakal bertambah dari 10 menjadi 15.

Usulan ini memicu kekhawatiran bakal kembalinya dwifungsi ABRI dan melemahnya supremasi sipil. Pemerintah berjanji bakal mengatur ketat sistem dan kriteria penempatan ini agar sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu netralitas TNI. Namun, perincian sistem dan kriteria tersebut tetap belum jelas dan perlu dijelaskan secara rinci.

Koalisi masyarakat sipil telah menyuarakan kritik terhadap kurangnya transparansi dalam proses pembahasan RUU ini dan meminta agar partisipasi publik ditingkatkan. Mereka cemas penempatan prajurit aktif di kedudukan sipil dapat menakut-nakuti kerakyatan dan supremasi sipil.

Koalisi masyarakat sipil menilai, secara substansi RUU TNI tetap mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, ekspansi di kedudukan sipil nan menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan corak dwifungsi TNI.

“Untuk di instansi Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat lantaran kegunaan TNI sejatinya sebagai perangkat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai abdi negara penegak hukum. Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif nan menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya kudu mengundurkan diri terlebih dahulu,” jelas dia.

Sejak awal dibentuk, kata Ikhsan, pihaknya sudah mengkritisi keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung nan sejatinya tidak diperlukan lantaran hanya menangani perkara koneksitas dan semestinya tidak perlu dipermanenkan menjadi sebuah jabatan.

“Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc campuran tim Kejaksaan Agung dan oditur militer. Lagipula, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah lantaran seringkali menjadi sarana impunitas,” ungkap dia.