ARTICLE AD BOX
Jakarta, librosfullgratis.com - Sejumlah kalangan ahli ekonomi kompak menyebut anjloknya setoran pajak pada awal tahun ini dipicu oleh bermasalahnya aktivitas perekonomian Indonesia. Namun, pemerintah membantah perihal itu.
Sebagaimana diketahui, dalam dua bulan awal tahun ini, setoran pajak nan masuk ke kas negara hanya senilai Rp187,8 triliun, terkontraksi sebesar 30,19% dibandingkan catatan Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun.
Guru Besar bagian Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengatakan ketika penerimaan pajak turun drastis sebesar 30,1% dibandingkan tahun lalu, pemerintah semestinya mengakui tantangan nan dihadapi alih-alih menyepelekan dampaknya.
"Penurunan ini menunjukkan masalah struktural dalam perekonomian, seperti melemahnya konsumsi domestik, rendahnya profitabilitas perusahaan, dan gangguan dalam manajemen perpajakan akibat penerapan sistem Coretax nan belum matang," kata Syafruddin, Jumat (14/3/2025).
Ia pun menyoroti keputusan Kementerian Keuangan nan hanya menyalahkan aspek teknis dan nilai komoditas, sebagai penyebab anjloknya penerimaan negara, hingga berakibat defisit fiskal sudah muncul sejak awal tahun. "Itu adalah kajian nan terlalu dangkal," tegasnya.
Baginya, penurunan penerimaan pajak, khususnya setoran pajak pertambahan nilai dalam negeri alias PPN DN nan melorot pada dua bulan pertama tahun ini, dengan nilai Rp 102,5 triliun, alias minus 9,53% dibanding realisasi hingga Februari 2024 nan sebesar Rp 113,3 triliun, sudah menjadi sinyal bermasalahnya daya beli masyarakat.
"Menutup-nutupi masalah dan mempertahankan kebijakan nan tidak efektif. Ini hanya bakal memperburuk kondisi ekonomi dan menurunkan kepercayaan penanammodal serta masyarakat terhadap pemerintah," tegasnya.
Ia mengingatkan, Goldman Sachs telah menurunkan ranking aset investasi Indonesia, memproyeksikan defisit APBN 2025 bisa melebar menjadi 2,9% dari PDB, lebih tinggi dari sasaran 2,53%.
Selain itu, Lembaga investasi asing asal Jepang, Nomura Holdings juga memperkirakan, defisit anggaran pendapatan dan shopping negara (APBN) 2025 bakal melampaui pemisah defisit APBN nan tertuang dalam penjelasan Pasal 12 UU Keuangan Negara sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Dalam laporan Nomura Asia Insights berjudul Indonesia: Fiscal risk monitor #1 - Taking stock of new (unfunded) measures and their costs, disebutkan defisit APBN 2025 berpotensi membengkak sebesar 0,9% dari sasaran defisit APBN pemerintah pada tahun ini 2,5% dari PDB. Mengakibatkan potensi APBN bengkak hingga menjadi 3,4%.
"Jika masyarakat dan pelaku upaya memahami kondisi ekonomi secara transparan, mereka dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan kebijakan ekonomi nan diterapkan," ungkap Syafruddin.
"Namun, jika pemerintah tetap menganggap bahwa masyarakat tidak perlu mengetahui kondisi ekonomi secara transparan, maka kepercayaan terhadap kebijakan fiskal bakal semakin luntur. Saatnya pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk reformasi fiskal nan lebih nyata dan berkelanjutan," tegasnya.
Pandangan serupa disampaikan oleh Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Ia bilang, penurunan penerimaan jelas-jelas ada kaitannya dengan kondisi ekonomi.
"Kondisi ekonomi kan juga jika kita lihat dari beragam parameter shopping retail terus juga dari big data, terus juga dari penjualan mobil, penjualan peralatan tahan lama seperti mobil, motor, semua kan trendnya menurun. Jadi memang ini kaitan juga mungkin dari sisi Dari beli masyarakat nan juga melemah. Nah ini pasti ada pengaruhnya ke penerimaan pajak," kata David.
Selain itu, jika dilihat secara tahunan alias year on year (yoy), David menegaskan, memang pasti kondisi fiskal kudu turun lantaran tahun lampau shopping pemerintah kencang sekali pada kuartal I untuk mendongkrak aktivitas ekonomi.
"Belanja pemilu juga termasuk lantaran kan ada pemilu di Februari tahun lampau ya. Jadi wajar lah jika menurut saya ada tekanan.
Termasuk juga ada problem itu kan Coretax," tutur David.
Berbeda dengan kalangan ekonom, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, anjloknya penerimaan pajak pada awal tahun merupakan perihal biasa dan bukan anomali. Ia mengatakan, tiap tahun, tren ini selalu muncul.
"Itu sama setiap tahun. Jadi tidak ada perihal nan anomali jadi sifatnya normal saja," kata Anggito saat konvensi pers APBN di instansi pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, dikutip Jumat (14/3/2025).
Meski begitu, dia mengakui ada beberapa aspek nan menjadi pemicu tambahan turunnya penerimaan pajak. Yakni, masalah manajemen pajak hingga nilai komoditas nan merosot.
Khusus untuk nilai komoditas nan ambruk dan memengaruhi penerimaan negara, dia mengatakan di antaranya harga minyak mentah nan merosot 5,2% secara tahunan, batu bara minus 11,8%, dan nikel turun 5,9%.
"Kalau kita lihat kenapa Januari-Februari lebih rendah? lantaran dua faktor. Faktor penurunan nilai komoditas utama dan ada juga aspek administrasi," ujar Anggito.
Dari sisi manajemen perpajakan nan membikin penerimaan merosot, dia enggan menyebut disebabkan persoalan siste inti manajemen pajak alias Coretax nan terjadi sejak 1 Januari 2025.
Menurutnya, lebih condong disebabkan pengaruh kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) nan telah diterapkan sejak 2024, relaksasi untuk pelaporan dan penyetoran PPN termasuk faktornya dan restitusi nan signifikan.
Penerapan TER PPh 21 atas penghasilan bayaran pegawai sejak Januari 2024 mengakibatkan lebih bayar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024. Namun, Anggito berkilah tanpa lebih bayar semestinya penerimaan PPh 21 pada 2025 ini lebih tinggi dibandingkan periode nan sama tahun lalu.
"2025 lantaran adanya pengaruh lebih bayar, jika itu diklaim kembali alias dinormalisasi pada Januari dan Februari, maka sebetulnya rata-rata PPh 2025 lebih tinggi dari periode nan sama pada tahun 2024," ungkapnya.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sri Mulyani Sebut Trump Bikin Rupiah & Surat Utang RI "Merana"
Next Article Hore! Beli Rumah & Mobil Listrik di 2025 Bakal Dapat Diskon Pajak Lagi