ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Hanya beberapa tahun lalu, Portugal, Italia, Spanyol, dan Yunani dianggap sebagai 'anak bermasalah' di Uni Eropa (UE) di dalam golongan 20 negara nan membentuk Zona Euro. Namun situasinya sekarang berubah drastis. Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez baru-baru ini menekankan di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos bahwa area pinggiran selatan UE juga dapat "memberikan solusi untuk masalah bersama."
Lebih dari satu dasawarsa setelah krisis utang negara-negara Eropa nan nyaris menyeret Portugal, Italia, Spanyol, dan Yunani ke dalam lembah kebangkrutan finansial, sekarang negara-negara itu menunjukkan pertumbuhan ekonomi nan kuat.
Spanyol, misalnya, telah menjadi produsen dan eksportir daya terbarukan, khususnya listrik tenaga surya. Ini sangat membantu khususnya di tengah krisis daya nan dipicu oleh perang di Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Definisi baru kesenjangan utara-selatan di Uni Eropa
Bila ditinjau secara luas dari perspektif Eropa, prospek pertumbuhan ini rupanya tetap jauh dari kata cerah. Ekonomi Zona Euro secara keseluruhan mengalami stagnasi.
Pada kuartal keempat tahun 2024, pertumbuhan di area mata duit euro tetap tidak berubah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Secara keseluruhan, hanya kuartal musim panas nan sedikit lebih cerah, dengan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 0,4% sepanjang tahun.
Ayo berlangganan cuma-cuma newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Banyak mahir mengatakan, kelemahan ekonomi Jerman nan berkepanjangan menjadi penyebab stagnasi ini. PDB Jerman berkontraksi sebesar 0,2% baik pada kuartal keempat maupun sepanjang tahun 2024. Alexander Krger, kepala ahli ekonomi di salah satu bank swasta terbesar Jerman ialah Hauck Aufhuser Lampe Privatbank, mengatakan kepada instansi buletin Reuters bahwa Jerman "semakin tertinggal" baik di dalam Zona Euro maupun secara global.
Dapatkah Eropa selatan mendongkrak ekonomi euro?
Dengan masalah nan mencengkeram negara ekonomi terbesar Zona Euro itu, dapatkah pinggiran selatan Eropa menjadi mesin pertumbuhan baru bagi UE? Ekonom Gabriel Felbermayr mengatakan bakal susah lantaran "secara ekonomi negara-negara ini terlalu kecil."
Direktur Institut Riset Ekonomi Austria (WIFO) kepada DW mengatakan, Jerman dan Prancis sendiri menyumbang lebih dari 50% output di Zona Euro. Selain itu, Austria, Slovenia, Slowakia, dan Belanda saat ini juga bermasalah. Padahal negara-negara itu sebelumnya dianggap sebagai bagian dari "blok utara nan kuat dan terindustrialisasi" di Zona Euro.
Hans-Werner Sinn, salah seorang ahli ekonomi terkemuka di Jerman, dan mantan kepala lembaga think tank Ifo Institute for Economic Research, memandang adanya campuran aspek eksternal dan keputusan politik nan memainkan peranan menentukan. "Jerman telah menderita secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir akibat krisis energi, nan disebabkan oleh kombinasi perang di Ukraina dan kekurangan daya akibat kebijakan mereka sendiri," katanya kepada DW.
Dia mengkritik dorongan kuat untuk beranjak dari bahan bakar fosil ke daya hijau, dengan menyatakan bahwa "UE dan Jerman telah kehilangan keseimbangan" nan mengakibatkan Jerman saat ini bayar "harga listrik tertinggi di dunia." Hal ini khususnya mempengaruhi industri kimia dan industri otomotif Jerman.
Felbermayr sependapat dengan Sinn. Ia mengatakan, pendapatan ekonomi dari sektor paling krusial bagi negara-negara Uni Eropa bagian selatan, misalnya, pariwisata dan pertanian, secara signifikan mempunyai " input industrial jauh lebih rendah dalam pembuatan nilai ekonomi secara keseluruhan."
Ia juga menambahkan, faktor-faktor seperti biaya daya nan tinggi, perang dagang, dan tantangan dekarbonisasi lebih mempengaruhi wilayah utara daripada wilayah selatan Eropa. Felbermayr pun mencatat tingkat inflasi di wilayah selatan nan lebih rendah dibanding di negara-negara Uni Eropa bagian utara sejak tahun 2010, nan menambah daya saing mereka. "Upaya reformasi setelah krisis utang di Zona Euro telah membuahkan hasil, khususnya bagi Yunani, Spanyol, dan Portugal," tambahnya.
Jrg Krmer, kepala ahli ekonomi di lembaga pemberi pinjaman Jerman Commerzbank mengatakan, angan untuk pemulihan ekonomi nan sigap di area pengguna mata duit euro sangat tipis.
Ia juga memprediksi pemulihan nan lebih lamban. Berbicara dengan instansi buletin Reuters, dia mengatakan "krisis struktural nan mendalam dalam industri dan ancaman tarif Trump membebani segalanya."
Masih ada angan bagi Zona Euro
Meskipun ada masalah ekonomi saat ini, Komisi Eropa percaya bahwa sedikit pemulihan ekonomi bakal terjadi pada 2025, dan apalagi memperkirakan ekonomi area euro tumbuh sebesar 1,3%. Bank Sentral Eropa alias ECB, nan memangkas suku kembang dari 3% menjadi 2,75% minggu lalu, diperkirakan bakal terus berada pada jalur penurunan suku kembang sepanjang tahun ini.
Mengenai ketidakseimbangan pertumbuhan antara wilayah utara dan selatan Zona Euro, kepala WIFO Gabriel Felbermayr menganggap perihal ini tidaklah aneh. "Kadang-kadang, wilayah utara nan kuat secara industri lebih unggul, dan di lain waktu, giliran wilayah selatan nan berorientasi pada jasa nan unggul. Tidak berbeda dengan ekonomi besar lainnya, seperti Amerika Serikat."
Yang krusial saat ini, katanya, adalah bagi negara-negara utara untuk "terus berupaya maju dengan reformasi nan diperlukan untuk meningkatkan daya saing, sementara wilayah selatan kudu melanjutkan upayanya."
Dengan demikian, pasar tunggal Eropa bakal diperkuat dan berfaedah sebagai "mekanisme untuk menyeimbangkan perbedaan regional di dalam UE," ujarnya.
Diadaptasi dari tulisan DW berkata Jerman
(haf/haf)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu