ARTICLE AD BOX

PEMERINTAH diminta untuk menghitung kembali beragam kebijakan politik luar negeri Indonesia di tengah gejolak politik global, mulai dari perang Rusia-Ukraina sampai perang Iran-Israel, dan tentu saja persaingan AS dan BRICS.
Prabowo Subianto juga diimbau agar tidak menjadi presiden elitis nan tidak terkoneksi dengan akar rumput lantaran lebih sering dikelilingi menteri-menteri eks pemerintahan Joko Widodo nan sekadar mau mempertahankan posisi di lingkaran kekuasaan.
Peserta Diskusi?
Demikian antara lain disampaikan Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan, ketika berbincang di sebuah forum obrolan terbatas nan diselenggarakan Grup Diskusi Patiunus 75 nan dipimpin Bambang Soesatyo di Parle, Senayan Park, Jakarta, Kamis (10/7).
Diskusi terbatas bertema Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam Menghadapi Dinamika Global itu dihadiri sejumlah pembicara, ialah Guru Besar Universitas Pertahanan Laksamana TNI (Purn) Marsetio, akademisi Universitas Padjadjaran Dina Sulaeman, dan Wakil Ketua Umum KADIN Pahala Nugraha Manshuri. Diskusi dipandu Swary Utami Dewi.
Hadir sebagai peserta dalam obrolan itu antara lain Bupati Lahat nan juga Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Bursah Zarnubi, wartawan senior Nasir Tamara, Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Abdullah Rasyid, sejumlah pengamat geopolitik seperti Hendrajit, Teguh Santosa, dan Rizal Dharma Putra, aktivis prodemokrasi Said Didu, juga sejumlah mantan duta besar seperti Helmy Fauzi, dan tentu saja tuan rumah Bambang Soesatyo.
Pengaruh Menteri?
Syahganda mengawali uraiannya dengan memaparkan akibat dari pilihan Indonesia berasosiasi dengan poros Brazil, Russia, India, Tiongkok, dan South Africa (BRICS). Syahganda cemas pilihan politik ini dipengaruhi oleh golongan menteri nan hanya sekadar mau mempertahankan kekuasaan nan telah mereka duduki sejak era pemerintahan nan lalu.
“Itu kan orang-orang nan selama ini menikmati kekuasaan sebagai ABS, asal bapak senang. Mereka mungkin aja tipu-tipu Prabowo. Kalau kita mau serius, dihitung. Amerika itu meng-implan kekuatan intelijen dan militer di Indonesia sudah 30 tahun lebih. Kita berani nggak melawan itu. Orang-orang itu (eks menteri Jokowi) bicara gampang-gampang. Amerika itu anggaran militernya 963 miliar dolar AS. Belum lagi anggaran militer NATO sebesar 1,5 triliun dolar AS. Kekuatan kita apa?” urai Syahganda.
AS Marah?
Menurut dia, salah satu pembicaraanya dengan perwira tinggi TNI nan aktif di bumi intelijen mengenai akibat dari kemarahan Amerika Serikat atas keputusan politik luar negeri Indonesia. Kepada sang perwira tinggi dia bertanya, jika Amerika Serikat marah pada Indonesia, bisakah Papua dibantu mereka agar merdeka? Menjawab pertanyaan itu, sang perwira tinggi ini berkata, “Tidak usah Amerika Serikat, proxy (kaki tangan) CIA saja nan bergerak, Papua bisa merdeka.”
Ia mengingatkan bahwa situasi di panggung politik dunia tidak bisa dianggap main-main. Tanpa militansi support rakyat semesta, kekuatan Indonesia terlalu mini saat ini. Apalagi di era Jokowi lampau mentalitas rakyat rusak karena daya beli lemah dan praktek korupsi meluas.
Kelanjutan Perang?
Dia juga membujuk peserta obrolan untuk memikirkan sekali lagi keputusan Amerika Serikat melibatkan diri di tengah perang Iran-Israel dengan menjatuhkan peledak di tiga situs nuklir Iran.
“Kalau orang sudah berani membom negara lain, memang dia bakal berhenti? Ya enggak dong. Dia bukan berhenti, tapi mengintai. Dia tidak takut pada Rusia dan pada China, tidak,” kata Syahganda lagi.
Kebijakan Luar Negeri?
Dirinya belum memandang perhitungan-perhitungan rinci dari kebijakan luar negeri pemerintahan Prabowo nan dirumuskan oleh menteri-menteri eks pemerintahan Jokowi.
Syahganda berambisi agar obrolan menghasilkan sebuah komunike politik nan meminta Presiden Prabowo melibatkan masyarakat luas dalam perumusan kebijakan luar negeri, dan jangan hanya terpaku pada golongan menteri nan menurutnya rakus.
Libatkan Masyarakat?
Prabowo memang memerlukan partai-partai politik untuk memenangkan pemilihan presiden. Namun dalam menjalankan kekuasaan, Prabowo kudu melibatkan pertimbangan dari masyarakat luas.
“Menurut saya, tindakan Presiden memilih BRICS sebagai sekutu jangan dianggap sepele. Dia tidak boleh memutuskan sendiri. Maksudnya, dia kudu dengar bunyi aspirasi rakyat dan membangun komando persediaan rakyat militan,” ujar Syahganda lagi.
“Kita perlu buat suatu komunike politik kepada Prabowo agar jangan menjadi presiden nan elitis. Presiden elitis tidak terkoneksi dengan people power. Dalam situasi perang ini sangat berbahaya. Tidak bisa,” demikian Syahganda. (Cah/P-3)