ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Solidaritas tak mengenal jarak. Tiga hari setelah serangan Israel ke Doha, Presiden Prabowo Subianto menempuh penerbangan 7000 kilometer untuk berjumpa Emir Qatar.
Serangan Israel ke area pemukiman di Doha pada 9 September 2025 mengguncang dinamika politik Timur Tengah. Qatar dituding mengakomodir Hamas, namun di saat nan sama menjadi salah satu jangkar krusial Amerika Serikat di kawasan, dengan pangkalan militer Al-Udeid nan menjadi pusat operasi Washington di Teluk. Kontradiksi ini menempatkan Qatar pada posisi sulit, sebagai sekutu dekat Barat sekaligus mediator utama bentrok Gaza.
Indonesia merespons cepat. Sehari setelah serangan, Presiden Prabowo Subianto menelepon Emir Qatar untuk menegaskan solidaritas. Presiden juga mengingatkan bahwa serangan itu merupakan pelanggaran norma internasional dan ancaman serius bagi stabilitas kawasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak berakhir di situ, hanya beberapa hari kemudian, pada 12 September, Prabowo terbang langsung ke Doha untuk menemui Emir dan menyampaikan support secara tatap muka. Keputusan mendadak ini memperlihatkan bahwa bagi Indonesia, solidaritas dan norma internasional lebih utama dibanding kalkulasi politik domestik nan sedang ramai diperbincangkan.
Dari Energi ke Perdamaian
Kunjungan Prabowo ke Doha kali ini mempunyai dimensi khusus. Pada April 2025 lalu, dia sudah lebih dulu datang dalam kunjungan resmi kenegaraan, disambut dengan upacara kehormatan di Istana Amiri Diwan dan menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman berbobot lebih dari US$1 miliar. Kerja sama itu meliputi energi, infrastruktur, investasi, hingga pendidikan, termasuk komitmen Qatar untuk memperkuat pasokan LNG ke Indonesia dan membuka kesempatan investasi di sektor daya terbarukan.
Tradisi kunjungan presiden Indonesia ke Qatar memang bukan perihal baru. Dari era Soeharto, Habibie, Gus Dur, SBY, hingga Jokowi, hubungan ini banyak berpusat pada ekonomi dan energi. Namun, kunjungan Prabowo memperlihatkan pergeseran penting. Selain memperkuat fondasi kerja sama ekonomi, dia meningkatkan level hubungan ke ranah strategis, ialah perdamaian dan multipolaritas.
Qatar menempati posisi unik dalam lanskap global. Selain hub daya dunia, Doha juga menjadi simpul diplomasi internasional dengan peran sentral dalam rumor Gaza. Dengan menjalin kedekatan khusus, Indonesia menegaskan diri bukan hanya sebagai mitra ekonomi, tetapi juga mitra strategis nan mempunyai visi sama dalam membangun stabilitas kawasan.
Mandat Moral dan Diplomasi Proaktif
Langkah Prabowo terbang ke Doha segera setelah serangan Israel menunjukkan style kepemimpinan nan proaktif. Diplomasi tidak berakhir pada pernyataan alias komunikasi jarak jauh, melainkan diwujudkan dengan kehadiran langsung di saat sahabat menghadapi ujian. Ini mengirim pesan bahwa Indonesia tidak hanya mau terdengar di forum internasional, tetapi juga terlihat nyata di lapangan diplomasi global.
Lebih jauh, Presiden Prabowo membawa mandat moral nan lebih luas, ialah Palestina. Indonesia dikenal sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB, dengan lebih dari 24.000 prajurit telah dikerahkan sejak 2008, termasuk lebih dari 2.500 wanita TNI.
Kini, Indonesia menegaskan kesiapan mengirim hingga 20.000 personel ke Gaza andaikan ada mandat PBB. Artinya, diplomasi Indonesia tidak berakhir pada solidaritas simbolik, tetapi siap mengambil tanggung jawab konkret dalam skala besar.
Kesiapan ini bukan muncul tiba-tiba. Indonesia mempunyai warisan kelembagaan berupa International Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, nan dibangun pada masa Presiden SBY dan menjadi pusat training pasukan perdamaian terbesar di bagian bumi selatan. Komitmen ini juga mempunyai akar personal, di mana SBY sendiri pernah bekerja sebagai peacekeeper di Bosnia, sehingga tradisi perdamaian sudah melekat dalam DNA kepemimpinan Indonesia.
Relevansi langkah ini semakin kuat lantaran Qatar saat ini memegang peran krusial sebagai mediator Gaza. Indonesia datang sebagai negara dengan populasi muslim terbesar sekaligus bagian dari Global South nan vokal. Hal ini sejalan dengan konsep "middle power diplomacy" nan dibahas Andrew F. Cooper, bahwa negara menengah dapat memainkan peran krusial dalam mediasi dan rumor kemanusiaan, sepanjang bisa memanfaatkan legitimasi moral dan jejaring multilateral. Dan Indonesia, melalui Prabowo, sedang mengisi peran tersebut.
Dari Doha ke Gaza, Kompas Moral Diplomasi Indonesia
Jika ditarik lebih jauh, kunjungan mendadak ke Doha menandai reposisi Indonesia dalam tata bumi multipolar. Selama ini, Indonesia lebih sering dipersepsikan sebagai tokoh regional nan sibuk dalam lingkup ASEAN alias Indo-Pasifik. Kini, dia menunjukkan kesanggupan menjadi kekuatan dunia nan relevan.
Diplomasi jarak jauh ini justru menghadirkan kedekatan baru. Secara geografis, Indonesia adalah negara terjauh nan presidennya datang di Qatar, tetapi secara moral, dia justru tampil paling dekat dengan rumor Palestina dan perdamaian kawasan. Jarak ribuan kilometer ditempuh untuk mendekatkan nilai dan aksi.
Kehadiran Prabowo di Doha, setelah telepon solidaritas nan lebih dulu dilakukan, membentuk rangkaian simbol sekaligus tindakan nyata. Dari MoU berbobot miliaran dolar di bagian daya hingga kesiapan mengirim pasukan perdamaian, Indonesia membuktikan diri datang tidak sekadar untuk mencatat sejarah, melainkan ikut menulisnya.
Seperti diingatkan Joseph Nye dengan pendapat soft power, pengaruh negara tidak hanya diukur dari militer dan ekonomi, melainkan dari nilai moral nan dikedepankan. Solidaritas nan ditempuh Presiden Prabowo Subianto, menegaskan bahwa Indonesia bukan penonton, melainkan pemain dalam percaturan global.
Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
(aud/aud)