ARTICLE AD BOX

Isu ketimpangan ekonomi di wilayah perdesaan bukanlah wacana baru, namun pendekatannya terus berkembang. Tak lagi hanya soal support alias pelatihan, melainkan gimana teknologi sederhana, berkelanjutan, dan partisipatif bisa membuka kesempatan ekonomi baru bagi masyarakat.
Di sinilah penemuan berbasis kreasi dan lingkungan mengambil peran penting, seperti nan dilakukan oleh tim Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) di Kampung Ilmu, Desa Cisarua, Purwakarta, Jawa Barat.
Selama delapan bulan, dari pertengahan 2024 hingga awal 2025, tim pengajar dan mahasiswa dari Program Studi Desain Produk, dan Desain Komunikasi Visual UPJ mendampingi penduduk dalam membangun sistem budidaya maggot modular sebagai solusi ekonomi dan lingkungan. Inisiatif ini berangkat dari kebutuhan riil penduduk berangkaian dengan biaya pakan ternak nan tinggi, potensi limbah organik, serta keterbatasan akses ekonomi produktif di wilayah perbukitan Purwakarta.
Tim Pengmas nan dipimpin oleh Dosen dari UPJ ialah Teddy Mohamad Darajat bersama, Hari Nugraha Ranudinata, dan Gandung Anugrah Kalbuadi serta mahasiswa dari lintas program studi tidak hanya merancang perangkat maggot modular nan mudah dirakit, tetapi juga menyusun modul edukasi, video pelatihan, dan sistem monitoring budidaya nan berkelanjutan. Semuanya dilakukan dalam kerjasama intensif dengan penduduk nan difasilitasi oleh pengelola Kampung Ilmu.
Dengan pendekatan holistic, aktivitas dimulai dari observasi kondisi ekonomi dan sosial warga, penyuluhan, training perakitan perangkat, hingga praktik budidaya nan berjalan langsung di Kampung Ilmui. Empat penduduk perintis dilibatkan secara aktif sebagai pionir, dengan angan dapat memicu pengaruh berantai di organisasi sekitarnya. Perangkat nan digunakan didesain dengan prinsip knock-down modular—mudah dibawa, dirakit, dan dipelihara secara berdikari oleh warga.
Yang menarik, keberhasilan budidaya maggot tidak hanya berakibat pada penghematan biaya pakan untuk hewan ternak hingga 40%, tapi juga menciptakan sumber pendapatan baru. Maggot kering nan dijual sebagai pakan unggas, dan kompos hasil limbahnya, sekarang menjadi aset produktif di tangan warga. Ini bukan sekadar proyek teknis—tetapi transformasi sosial dan ekologis nan berakar dari kearifan lokal dan sains terapan.
Melalui kerjasama lintas ilmu, aktivitas ini membuktikan bahwa pendekatan kreasi dapat menyentuh aspek kehidupan nan nyata dan kontekstual. Bahkan, tahapan pertimbangan akhir menunjukkan antusiasme penduduk untuk melanjutkan budidaya ini secara mandiri. Tim pengajar berserta mahasiswa UPJ juga tengah menyiapkan pendaftaran Hak Cipta dan Desain Industri perangkat maggot modular, serta menjajaki ekspansi program di semester berikutnya.
Transformasi ini, sebagaimana disampaikan dalam pembekalan awal oleh sosiolog Imam Prasodjo—pengelola Kampung Ilmu dan Ketua Yayasan Nurani Dunia—adalah perjalanan berbareng nan kudu dilandasi empati, keterbukaan, dan keberanian untuk berinovasi. Dalam bumi pengabdian nan terus berevolusi, inisiatif maggot UPJ menjadi bukti bahwa perubahan dapat dimulai dari perihal sederhana—dari larva mungil, menuju perubahan ekonomi nan bermakna. (RO/Z-2)